Bocah itu pernah menjadi satu titik hijau pada setiap kali Persebaya bertarung kandang. Gelora 10 Nopember adalah saksi yang tak akan hilang ditelan waktu.
Tembok tinggi menjulang berujung kawat berduri begitu akrab ia panjat. Tak punya duit tapi ingin menyaksikan Bajol Ijo bertarung.
Kakinya tak pernah beralas. Sesekali ia pun membeli tiket, masuk stadion sebagaimana mestinya. Ia akan punya duit kalau sukses memalaki abangnya yang sopir angkot.
Gandol truk berombongan bersama kawan-kawan adalah kegemaran yang berjaya menjaga semangatnya untuk terus menyokong Green Force.
Saat tandang pun seringkali ia menyertai Persebaya. Ke Bali, Jakarta, Bandung dan berbagai kota lainnya. Malakin pemilik warung, adalah hal yang ia sesali kini.
Entah bagaimana cara membayar kerugian para bakul itu. Belum lagi ketakutan yang mereka rasakan saat ia dan kawan-kawannya datang menghampiri.
Baca Juga : Siapakah Ahli Bid’ah?
Maka, membiasakan sedekah dan menolong orang adalah cara ia menebus kenekatan konyol yang dulu pernah ia lakukan. Jika teringat semua itu, ia pun tersedu. “Duh Gusti, ampuni hamba,” lirihnya pada banyak pinta.
Bertahun yang sudah dikaburkan debu, purnama yang sudah tak berbilang, sementara bintang tetap sedia ia gayuh.
Beribu bintang entah yang mana satu yang sanggup ia raih. Tapi hingga kini sepertinya terus berupaya, entah sampai kapan. Mungkin sampai masa menyudahi upaya, tapi setidaknya perputaran dan kelokan Surabaya hingga Malang, kelak akan bersaksi: orang ini ingin menjadi orang baik!
Menyaksikan Bonek malam tadi merayakan hari jadi Persebaya, ia pun tak sanggup melawan kenangan yang terus berkelebat, bahwa dulu ia adalah bagian dari mereka.
Sampai sebuah sapaan menghentikan renungan, “Abrar, bocah itu kini sudah berkepala empat. Beranak tujuh, konon masih dari rahim yang pertama.”
Selamat ulang tahun, Persebaya! 93 tahun tetap bernyali dan terus wani! (Abrar Rifai)
Terkait
Hewan Bukan Aksesori Belaka!
Rumus Tekanan (Hidup)
Kemanusiaan