Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Demokratisasi Penerbitan Naskah

Demokratisasi Penerbitan Naskah

Oleh: Mahfuzh Huda

Pada tahun 1888, sebuah Kamera film dibuat oleh perusahaan bernama Kodak. Kamera ini membuat sejarah baru di dalam dunia fotografi.

Otak dibalik perusahaan tersebuat ialah George Eastman. Ia adalah seorang pekerja bank yang memutuskan berhenti. Rencana awalnya, ia ingin membuat usaha jual beli properti. Namun, kebutuhan dasar untuk promosi di industri properti ialah gambar bangunan yang sedang dijual.

Untuk tujuan promosi ini, Ia mempelajari teknik fotografi profesional, yang pada waktu itu sangatlah menguras waktu, tenaga dan pikiran. Untuk bisa melakukan pengambilan gambar dan pencetakan gambar, perlu pelatihan khusus karena berhadapan dengan bahan kimia, kertas dan lensa optik.

Eastman yang awalnya belajar fotografi untuk berjualan properti, justru melihat peluang besar pada industri fotografi amatir. Idenya sederhana, dia ingin membuat fotografi menjadi demokratis, sehingga bisa diakses dan dilakukan setiap orang.

Kodak yang ia dirikan, menjual kamera dan film. Setelah seseorang menggunakan kamera untuk mengambil foto, mereka bisa mengirimkan foto tersebut ke Kodak. Pihak Kodak akan memproses film hingga menjadi foto. Proses ini termasuk menyelaraskan warna dan media print agar foto terlihat lebih menarik (editing).

Kebutuhan fotografi bukan lagi hanya untuk publikasi, periklanan dan hiasan dinding, tetapi juga untuk menyimpan memori dan mengabadikan momen. Inilah yang merevolusi dunia fotografi, sehingga saat ini bahkan bisa dilakukan oleh nyaris semua orang.

Banyak yang mengira bahwa keberhasilan Eastman ialah karena ia menciptakan teknologi yang memungkinkan siapapun untuk melakukan aktivitas fotografi. Namun, nyatanya tidak. Teknologi yang ia gunakan sebenarnya sudah tersedia semua, justru jasa terbesarnya ialah pada pemasaran yang sukses, membuat banyak orang ingin melakukan fotografi karena dinilai sederhana dan berharga. Inilah jasa penting yang dilakukan Eastman.

Baca Juga : Pancasila dan Kebijakan New Normal

Di tahun 2011, awal saya aktif di forum kepenulisan, keinginan agar naskah saya terbit di koran atau media massa begitu menggebu-gebu. Rasanya sangat iri melihat karya teman-teman yang telah tembus media nasional. Keren. Sangat keren.

Tetapi tulisan-tulisan yang saya hasilkan masih sangat jauh dari kualitas tersebut. Jangankan konten yang unik ataupun diksi yang menarik, EYD (PUEBI) saja masih banyak yang salah. Saat itu, penulisan “di” sebagai penunjuk tempat dan “di” sebagai imbuhan saja masih sering keliru. Yap. Tragis.

Tulisan yang tak karuan bentuknya itu, puisi yang diksinya berkelit bak ular berkepala dua, atau essai yang dituliskan dengan miskin literatur, akhirnya mengendap sebagai file di folder komputer.

Sampai akhirnya, saya menemukan Kodak di dunia kepenulisan. PNBB, Proyek Nulis Buku Bareng, pendirinya ialah Pak @Heri Cahyo . Group FB ini mempromosikan bahwa semua amatir bisa mempublikasikan tulisannya, tak perduli bagaimanapun bentuknya. Senior di group tersebut yang akan memperbaiki EYD dan menyelaraskan diksinya.

Tentu saja group ini membuat saya merasa bahwa menulis itu menyenangkan, tak ada penolakan, dan isi pikiran yang saya tuliskan itu memiliki arti. Saya terlibat menuliskan dua buku (PNBB) dan satu ebook (pribadi).

Lama kelamaan, saya memang kurang aktif di group tersebut. Tetapi sebagai siswa yang bandel, tentu saja saya “mencuri” idenya. Demokratisasi penerbitan naskah. Bahwa teknologi publikasi itu sudah ada di tangan kita secara personal, tinggal pakai, asalkan niat. Inilah awal saya blogging.

Saat ini, menulis di dunia maya sudah menjadi bagian dari diri saya. Blogger adalah satu deskripsi dari seorang Muhammad Mahfuzh Huda. Terserah ingin dibilang hobi, profesional atau sekedar mengisi waktu luang.

Jadi tulisan, pada dasarnya sama seperti foto yang dirasa menyenangkan, berarti dan bisa mengabadikan momen. Tak perlu menjadi penulis nasional agar kita bersedia menulis. Tak perlu bercita-cita menjadi professional untuk sekedar menuliskan suasana mendung di sore hari.

Toh.. Ketika anda memotret foto makanan untuk postingan di IG siang hari ini, tidak pernah terpikirkan untuk membandingkan hasilnya dengan karya Ansel Adams, bapak gurunya fotografi professional.

Menulis juga semestinya sedemokratis itu. Bisa dilakukan siapapun atas dasar mengabadikan pikiran. Sepuluh tahun nanti, mungkin kita bisa ceritakan kepada orang lain, bahwa pikiran kita pernah seaneh itu, seperti ketika orang tua menceritakan momen lucu yang dialami anaknya saat masih balita yang terekam kamera.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: