Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Berkemah di Rest Area

ARUS BALIK DI PELABUHAN BAKAUHENI

Perjalanan Menuju Sumatera #5

Di ruang tunggu penumpang, panas. Ada banyak AC di ruang tersebut, tapi semuanya mati. Entah memang tidak dinyalakan atau memang sudah rusak.

Hawa panas ditambah lagi suasana menjadi panas, ketika beberapa penyanyi tampil. Music disco yang mereka putar, sepertinya tak patut di kapal penyeberangan yang hanya dua jam. Sebab para pengemudi biasanya memilih beristirahat, tidur, daripada harus memikmati hendakan music disco.

Tapi walaupun begitu, ketika mereka mengedarkan kotak meminta partisipasi uang dari penumpang, saya tetap memasukkan uang lima ribu rupiah.

Sebab sudah sekian tahun lamanya, saya tidak pernah menolak pengemis, pengamem dan lain sejenisnya. Karena begitulah cara mereka mencari penghidupan. Kita hanyalah perantara rizqi untuk sampai kepada mereka.

Sayapun tidak pernah mempermasalahkan, para pengamen dan pengemis yang berada di seantero Negeri. Baik yang berkeliling ke rumah-rumah, yang berdiam di traffic light dan lain sebagainya, bahwa uang hasil ngamen atau mengemis itu akan digunakan untuk apa.

Yang pasti mereka akan makan dari situ. Uang sisa beli makan, banyak atau sedikit, mau ditabung atau mungkin dibuat beli minuman keras, sudah tidak menjadi urusan saya.

Baca Juga : Sumatera 4: Menyeberang Selat Sunda

Kecuali kalau jelas-jelas mereka minta uang buat mabuk, ya pastilah tidak akan saya kasih. Tapi kalau sebatas asumsi atau konon biasanya seperti itu, biarlah begitu. Sebab kita tidak boleh menghukumi sesuatu yang tidak kita lihat sendiri, atau tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Panas di dalam ruangan ditambah hentakan disco sing nggerebeki kuping, saya ajak anak-anak dan ibunya keluar aja. Kita memilih duduk di lantai sisi kiri kapal.

Banyak juga penumpang yang memilih berdiam di situ daripada di dalam. Mungkin karena isis terkena angin laut. Nyaman.

Tapi memang harus hati-hati, terutama anak kecil. Sebab kalau lengah, bisa jatuh ke laut.

Saya berbincang dengan seseorang yang berasal dari Makkasar tapi sekarang menetap di Palembang.

Sementara angin laut terus membelai dengan lembut. Ain dan adik-adiknya berfoto di sela-sela obrolan dan cengkrama mereka.

Tak terasa, kapal sudah hampir sampai ke Pelabuhan Bakauheni. Rupanya sudah dua jam kami melayari selat Sunda.

Para penumpang bergerak menuju mobil masing-masing. Tak terkecuali kami. Sebenarnya saya ingin meminta anak-anak untuk merekam video saat mobil keluar kapal.

Tapi tak saya lakukan, sebab itu akan menyusahkan mereka. Anak-anak saya ajak bukan untuk bikin video, tapi untuk menikmati perjalanan. Kecuali kalau mereka sendiri yang mau merekam, maka akan saya biarkan.

Keluar kapal, saya mengikuti mobil-mobil lain yang menjauh dari bibir pelabuhan. Sampai pada satu jalan, banyak mobil berhenti. Saya pun ikut berhenti. Saya coba tengok kondisi ban mobil dan lampu-lampu, apakah semua Ok.

Alhamdulillah, tak ada masalah.

Berikutnya saya berpikir, mau kemana ini. Kota Bandarlampung itu dimana, pun tak tahu. Saya coba kontak seorang kawan Fevci, tapi tak bisa.

Akhirnya saya memutuskan jalan, dengan membukan Google Map. Saya arahkan ke Bandar Lampung. Sebenarnya ada beberapa kawan yang bisa saya kontak, tapi saya tak ingin merepotkan mereka.

Malam ini kami akan camping, tapi belum tahu mau camping dimana.

GPS membawa kami masuk tol. Kami pun ikut.

Mobil terus melaju, hingga sampailah pada rest area pertama. Kami berhenti, saya ke toilet. Tapi seseorang memberitahu, bahwa rest area yang bagus itu adalah rest area berikutnya.

Kamipun kembali melnjutkan perjalanan.

Sampai di rest area berikutnya, saya cari tempat parkir yang nyaman. Sebab kami akan buka tenda. Ada banyak mobil yang berhenti di tempat parkir yang sudah digaris-garis putih laiknya tempat parkir di mall.

Saya cari petugas atau marbot masjid di situ. Saya minta ijin untuk bermalam dan membuka tenda. Seorang yang saya ketahui sebagai petugas kebersihan kemudian mengarahkan saya ke belakang.

Benar saja, di samping kiri masjid, di belakang Indomaret ada area luas sekali. Saya parkir mobil di situ. Tak ada mobil lain.

Kami pun mulai membuka tenda. Rooftop tent di atas mobil kami buka. Awning di samping kiri mobil pun kami buka. Meja, kursi dan tikar semua kami buka, bentang di atas paving area tersebut.

Dalam mobil kami rapikan. Kursi tengah kami lipat, agar terhubung dengan amben belakang, sehingga bisa dibuat tidur membujur orang dewasa.

Tak lupa saya menyalakan lampu warna-warni yang telah saya siapkan sebelumnya. Dari samping mobil terus saya alirkan ke dalam tenda di atas.

Anak-anak dan ibunya ke kamar mandi, kecuali Rifqi, dia membantu saya menyiapkan segala sesuatunya, agar kami nyaman menginap malam itu.

Setelah selesai, barulah saya dan Rifqi ke kamar mandi dan kemudian shalat.

Saya mau ajak Rifqi shalat jamaah, tapi ketika saya keluar dari kamar mandi, rupanya dia sudah selesai shalat. Ini bapaknya yang terlalu lama di bilik air atau dasar Rifqi aja yang terlalu cepat shalat.

Suasana Berkemah Di Rest Area

Kembali ke mobil, semua sudah pada pewe. Najma dan ibunya di dalam mobil. Ain, Tya, Diana, Ima dan Maya di tenda atas mobil.

Ini para krucil memilih di dalam tenda mungkin karena ada lampu warna-warni.

Lah saya dan Rifqi d mana dong?

Saya lihat ke dalam rooftent, berisi Ain dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil, masih banyak ruang yang kosong. Andai diisi dua orang dewasa lagi masih cukup.

“Sudah Qi, kamu naik ke atas. Tidur di tenda atas.”

“Gak wes, Qi di sini aja,” ia menunjuk tikar di bawah awning… “Lagian Qi gak tidur, kok,” katanya. Kebiasaan Rifqi memang kalau malam dia jarang tidur. Dia nge-game.

Saya lihat di atas tikar ada piring-piring, sendok, gelas, kompor dan perlengkapan lainnya.

“Iya wes kalau gitu abi aja yang tidur di atas.” saya pun naik tangga.

“Lhoooo! Abi kok di sini? Ini kan tempat kitaaa…!” Maya, Ima, Diana dan Fathiya kompak memperotes kehadiran bapaknya. Sementara Ain hanya tertawa aja menyaksikan tingkah adik-adiknya.

Saya tak hirau. Justru saya ambil Sumayyah, saya rengkuh dalam pelukan yang paling hangat. “Iya, abi mau tidur di sini sama aya dan kakak ima.” Ima pun kemudian merapat, minta dipeluk juga.

Malam kemudian menidurkan kami.

Dalam lelap, saya masih sadar saat hujan deras turun.

Hujan deras disertai angin kencang. Saya terbangun. Saya lihat jam di layar HP menunjuk angka 3.

Belum sempat lagi saya memutuskan, apakah akan lanjut tidur atau bangun aja, tetiba angin menerbangkan tenda awning di samping mobil. Tiangnya terangkat. Berarti anginnya benar-benar kencang.

Saya turun. Saya temui Rifqi sedang kalang kabut sendirian. “Kenceng anginnya, Bi,” katanya.

Saya bantu dia. Karena angin ini sepertinya akan terus kencang, saya minta Rifqi untuk menggulung tenda awning. Daripada nanti terbang lagi.

Rupanya kompor, piring dan lain-lain sudah diamankan Rifqi di bawah mobil. Jadi tidak terkena hujan, walau tendanya terbongkar.

Karena sudah lebih pukul tiga, saya putuskan tidak tidur lagi. Ibunya anak-anak pun sudah bangun.

Saya ambil beras, kemudian saya bawa ke kran air di masjid. Sebelumnya saya sudah ijin ke petugasnya kalau mau masak, mau pakai air.

Beras saya basuh. Saya isi air secukupnya, sekiranya saat matang nanti, nasinya tidak terlalu keras, tapi tidak terlampau lembek.

Sampai ke mobil, inverter saya nyalakan. Saya colokin magic com, saya arahkan tombol powernya ke bawah ke arah on.

Rifqi dan ibunya menyalakan kompor. Mereka saling bantu masak. Mulai goreng telur, masak sarden dan lain sebagainya.

Kenapa Rifqi?

Selain karena dia yang memang masih melek, yang paling tahu tentang penggunaan peralatan portabel itu memang Rifqi, karena dia sudah biasa camping dan naik gunung.

Ain, Najma dan adik-adiknya masih tidur. Kami bangunkan mereka setelah semua makanan siap.

Semuanya ikut makan sahur, kecuali Fatimah dan Sumayyah. Ini memang duo yang tidak puasa. Makanya tidak saya bangunkan. Daripada bangun malah membikin keributan. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: