Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Berpadu pada diri Rasulullah –shallallahu alaihi wa alihi wasallama– berbagai karakter yang masing-masing selaras dengan konteksnya.

Saat Baginda dilempari batu di Thaif hingga berdarah-darah, saat Malaikat menawarkan diri untuk menimbun para penimpuk batu tersebut dengan gunung, beliau menolak.

Bahkan dengan khusyuk beliau berdoa, ”Ya Allah, berikanlah hidayah kepada masyarakatku, karena mereka tak mengetahui hakekat seruanku.”

Saat mengetahui terbunuhnya paman beliau, Sayyidina Hamzah –radhiyallahu ‘anhu, mendidih darah beliau menahan amarah. Apalagi setelah tahu seperti apa sang paman terbunuh, siapa pembunuhnya dan siapa pula yang menyuruh.

Baca Juga : Al Arwah Junud Mujannadah

Begitu juga sebelumnya, Baginda Nabi –alaihish shalatu wasaalam diburu siang dan malam untuk dibunuh dan atau ditangkap, hingga akhirnya beliau hijrah ditemani sahabat terkasih, Sayyidina Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu.

Namun ketika tiba penaklukan Mekkah, saat Rasulullah bisa leluasa melakukan apa saja terhadap orang-orang yang pernah memusuhinya, beliau tak serta merta melakukan balas dendam.

Bahkan ketika ada di antara sahabatnya yang berteriak, “Alyaum yaumul malhamah = hari ini saatnya melakukan pembantaian!”

Baginda menyahut, “Alyaum yumul marhamah = hari ini saatnya mencurahkan kasih sayang!”

Saat Wahsyi, orang suruhan Hindun yang membunuh dan memakan hati Sayyidina Hamzah, mendatanginya, bergetar tubuh Rasulullah menahan amarah yang menggelegak.

“Apakah kamu Wahsyi?”

“Betul, aku Wahsyi.”

“Kamukah yang membunuh pamanku, Hamzah?”

“Begitulah, sebagaimana kabar yang telah sampai kepadamu. Namun kali ini aku datang kepadamu, untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Engkau adalah utusan Allah.”

“Baiklah. Tapi aku harap agar kau tidak menampakkan wajahmu kepadaku lagi.”

Sebagai manusia, Junjungan kita, Sayyidna Muhammad –shallallahu alaihi wasallam– tidak bisa mengingkari amarahnya. Tapi sebagai nabi, beliau pun harus memaafkan Wahsyi. Terlepas sebesar apapun kesalahan lelaki tersebut.

Selanjutnya Rasulullah berseru, “Siapa yang masuk Baitullah, maka ia selamat. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, maka ia selamat. Serta siapa yang masuk ke dalam rumahnya sendiri, iapun selamat!”

Perhatikanlah, Abu Sufyan, dedengkot orang yang sangat memusuhinya pun tetap ia hormati sebagai satu di antara tokoh yang memang dihormati di Mekkah.

Ada banyak peristiwa yang merekam kelembutan dan kepengasihan Baginda Nabi sepanjang risalah yang diembannya.

Namun, kita pun mengetahui ketegasan dan kegarangan Rasulullah pada peristiwa lain, yang memang menuntut sikap demikian.

Cukuplah berbagai peperangan yang dilakoni Baginda Nabi melawan para penentang dakwah beliau, sebagai bukti bahwa ketegasan dan kekerasan pun ada saatnya untuk dilakukan.

Pun, saat Usamah Bin Zaid –Radhiyallahu ‘anhuma datang menghadapnya untuk meminta pengampunan atas seorang bangsawan yang telah melakukan pencurian, seketika Baginda marah. Seraya bersabda, ”…andai Fatimah anakku sekalipun yang mencuri tetap akan aku potong tangannya!”

Demikianlah, meneladani Kanjeng Nabi itu tak melulu akan kelembutan. Tapi juga tak selalu harus garang.

Baginda Rasul dengan segenap keparipurnaan dirinya, adalah sebaik-baik teladan bagi semesta. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: