Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Antara Tsawabit dan Mutaghayyirat

Antara Tsawabit dan Mutaghayyirat

Oleh: KH. Ahmad Mudzoffar Jufri

Dari sifatnya, ajaran Islam terdiri dari dua kategori.
Pertama, tsawabit yang merupakan ketentuan-ketentuan agama yang bersifat tetap, baku, dan aksiomatik. Ajaran yang termasuk tsawabit ini tidak bisa berubah dan tidak boleh diubah-ubah. Tetap dari awal ditetapkan melalui wahyu suci dan selalu berlaku sampai kapan pun. Tak pernah berubah.

Tidak boleh ada pemakaian logika, penalaran, dan ijtihad dalam ajaran Islam yang bersifat tsawabit ini. Ajaran ini tidak masuk dalam wilayah nalar dan tidak termasuk objek ijtihad.

Kedua, mutaghayyirat yang terdiri dari bagian non aksiomatik baku. Ajaran yang bersifat mutaghayyirat dimungkinkan terjadinya perubahan, perbedaan, dan keragaman, baik pada aspek teori dan wacana maupun saat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Ajaran yang bersifat tsawabit dikenal juga dengan masalah ushul yang merupakan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran agama di tataran idealistis, teoritis, dan normatif di bidang akidah, ibadah, syariah, maupun bidang lainnya.

Adapun yang termasuk dalam kelompok mutaghayyirat secara umum terdiri dari dua bagian:

1. Semua masalah agama yang dikenal dengan masalah furu’/furu’iyah (cabang, bukan pokok atau prinsip). Dari awalnya, masalah furu’ ini bersifat ijtihadiyah khilafiyah karena acuan dalil dan landasannya yang bersifat zhanni, nisbi, dan multi tafsir.

Masalah furu’ dari awal menerima bahkan menuntut dilakukannya ijtihad. Tentu saja ijtihad dari ahlinya, bukan dari orang awam. Karenanya, masalah furu’ ini bisa ditolerir ketika terjadi perbedaan, keragamanan, dan perubahan, sebagai konsekuensi logis dari proses ijtihad itu sendiri.

2. Aspek praktik, pengamalan, pelaksanaan, dan pengimplementasian dari setiap ajaran Islam, termasuk beberapa masalah ushul termasuk dalam kategori mutaghayyirat.

Masalah ushul (pokok/prinsip) memiliki dua aspek dengan dua sifat yang berbeda. Pertama, aspek idealistis teoritis normatif yang bersifat tsabit (tetap, baku, aksiomatik). Kedua, aspek realistis-praktis-implementatif yang memungkinkan bersifat mutaghayyir (berubah, berbeda-beda, beragam).

Pada aspek dalil, sifat baku ini bersifat tetap meski adanya perbedaan dalil, landasan, dan acuan. Beragam aspek teori, idealita, dan norma dasar yang menjadi dalil, landasan, dan acuan bagi masalah-masalah ushul (pokok, prinsip) ini, meski terlihat berbeda, berasal dari nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak yang bersifat qath’i (pasti) sehingga sifat dan status hukum yang dihasilkan bersifat pasti, tetap, baku, dan aksiomatik.

Sedangkan di tataran praktik dan implementasi memungkinkan terjadinya perbedaan karena adanya kaidah fiqhut tanzil dan tahqiqul manath (fiqih implementasi hukum syar’i pada ralita tertentu secara definitif). Selain dalil syar’i harus pula ditambahkan dalil, landasan, dan acuan lain dari unsur fiqhul waqi’ (fiqih realita).

Fiqhul waqi’ ini berupa pertimbangan kondisi dan situasi yang berhuhungan dengan zaman, tempat, masyarakat, positioning Islam, dakwah dan ummatnya, dinamika kehidupan, peristiwa, kejadian dan banyak faktor lainnya.

Tambahan dalil, landasan, dan acuan yang berasal dari unsur realita inilah yang bersifat sangat relatif, dinamis, dan bisa berubah-ubah. Sehingga sangat logis bila kesimpulan hukum yang dihasilkan bisa berubah-ubah; dari qath’i menjadi dzanni dan nisbi, dari tetap dan baku menjadi dinamis, dari hukum tunggal menjadi berbeda-beda serta beragam.

Baca Juga : Bahasa Arab Fusha dan Ammiyah

Contoh paling vulgar dan dekat untuk persoalan ini adalah hukum-hukum syar’i yang langsung berubah secara ekstrem saat adanya pandemi covid-19. Seperti hukum shalat Jumat, shalat berjamaah di masjid, aturan shaf dalam shalat berjamaah di masjid, pemakmuran masjid, penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, pemakmuran Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pelaksanaan pendidikan, dakwah, kajian, pengajian, pembelajaran Al-Qur’an dan masih banyak lagi yang lainnya.

Singkat kata, sangat penting bagi setiap muslim dan muslimah untuk memahami hukum syar’i yang bias bersifat idealistis-teoritis-normatif, dan hukum syar’i yang realistis-praktis-implementatif. Antara keduanya, dalam satu masalah, bisa sangat berbeda sampai level yang paling ekstrem.

Kelemahan pemahaman atau kerancuan persepsi tentang poin ini seringkali menimbulkan bermacam persoalan yang tidak ringan. Seperti banyaknya pro-kontra antar berbagai kelompok umat lalu memuncak pada tingkat paling akut seolah tidak ada titik temu.

Padahal bila dicermati dengan benar, biang keladi utamanya terjadi karena perbedaan sudut pandang. Sebagian pihak menilai masalah yang dikontroversikan dari sudut pandang hukum syar’i idealistis-teoritis-normatif sementara yang lain justru menyikapinya dari sudut pandang hukum syar’i realistis-praktis-implementatif. Karena dilihat dari sudut pandang yang berbeda, ya bisa dipastikan nggak akan bisa sejalan!

Wallahu a’lam.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: