Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Selamat Jalan Gus Wahid

Tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya saya sudah bergabung dengan PKS sejal awal partai ini berdiri, ketika masih bernama PK. Belum ada S-nya. Bahkan sebelum jadi partai, saya sudah bersinggungan dengan para penggagas dan penggiatnya.

Termasuk Gus Wahid, beliau sama sekali tidak tahu bahwa saya sudah PKS sebelum beliau bertemu dengan orang- orang PKS. Maka pada satu kesempatan berjumpa dengan Gus Wahid, beliau ngajak saya. “Monggo Ustadz, ngaos kale kulo,” katanya.

“Ngaos nopo, Gus?”

“Niki ngaos khusus niki. Menarik!” beliau berusaha meyakinkan saya.

Gus Wahid menyebut nama beberapa gus dan ustadz di Malang yang sudah ikut bergabung di pengajian yang beliau maksud. Satu di antaranya adalah Gus Jakfar Ali yang juga baru meninggal dunia dua hari yang lalu.

Saya lupa tepatnya kitab apa yang disebutkan Gus Wahid, tapi yang pasti adalah kitab yang biasa menjadi rujukan orang-orang PKS. Gus Wahid menjelaskan bahwa kita tidak mengaji dalam artian ada guru dan santri. “Tapi kita diskusi, Ustadz,” katanya.

Gus Wahid pun menjelaskan bahwa yang menjadi pemandu adalah Gus Jalal. Lengkap dengan latar belakang keluarga dan keilmuannya. Gus Jalal yang dimaksud adalah Doktor Jalal, dosen UIN Maliki yang di lingkungan PKS biasa dipanggil Ustadz Jalal.

Gus Wahid ingin meyakinkan saya bahwa Gus Jalal itu adalah asli NU. Asli santri. “Iki duduk Wahhabi iki!” sergahnya.

Akhirnya setelah agak panjang bercerita, saya pun mengaku bahwa saya sudah lama ikut ngaji juga dengan orang-orang PKS. Gus Wahid agak terperanjat juga. Beliau mungkin tidak menyangka. Sebab saya tidak me-KS-i banget. Kata sebagian orang, ‘tidak ikhwani.

Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan liqa` Gus Wahid bersama Gus Jalal. Termasuk apakah Gus Wahid lanjut jadi kader PKS atau sekedar berteman dengan orang-orang PKS, sebagaimana pertemanan beliau dengan kelompok-kelompok lain.

Saya sering berjumpa dengan Gus Wahid, sebab seorang putri beliau dulu mondok di Babul Khairat. Setiap kali beliau sambang putrinya, selalu ngasih saya duit. Saya sudah berusaha menolak. Tapi beliau maksa. “Niki Njenengan wajib nerimo. Sebab Njenengan gurune anak kulo.” katanya.

Dua ratus ribu, tiga ratus ribu isinya. “Halah Ustadz… niki lho kulo enggeh diparingi tiang,” katanya sembari terkekeh khas kiai Arema tersebut.

Pada beberapa kali haflah dan haul di Babul Khairat, Gus Wahid juga berceramah. Tapi setiap kali disangoni, beliau selalu menolak. “Baiklah, ini saya terima tapi saya kembalikan lagi ke pondok tempat anak saya belajar,” katanya.

Ada banyak kenangan dengan Gus Wahid. Tak hanya saya, tapi saya kira hampir semua habaib, kiai dan ustadz di Malang Raya mengenal beliau dengan baik. Bukan hanya kiai NU, tapi Gus Wahid akrab dengan berbagai tokoh lintas harakah dan organisasi.

Gus Wahid bersama Ustadz Abdul Shomad dan Ustadz Abdullah Hadrami

Satu di antara tokoh yang dekat dengan Gus Wahid adalah Ustadz Abdullah Hadhromi, seorang tokoh salafi senior di Malang, bahkan di Indonesia. Maka saat dulu Ustadz Abdul Shomad ceramah di Malang, yang mengapit UAS adalah Ustadz Hadhromi dan Gus Wahid.

Tadi pun saat takziah, saya lihat Ustadz Abdullah Hadhromi selalu berada di dekat jenazah Gus Wahid. Saya lihat matanya terus berembun. Wajahnya sendu. Saat jenazah dibawa ke bilik pemandian, Ustadz Hadhromi pun ikut mengangkat. Saya pulang dulu, karena harus memimpin rapat di sekolah. Tapi Ustadz Hadhromi masih ada di sana bersama para tokoh dan lautan pelayat yang lain.

Beberapa hari terakhir ini, terkait penolakan RUU-HIP saya agak intens berkomunikasi dengan Gus Wahid. Bahkan malam sebelum Deklarasi, saat saya memandu rapat di Tanjung, Gus Wahid hanya duduk di belakang. Beliau tidak mau maju ke depan.

Gus Wahid adalah teladan toleransi antar gerakan keagamaan. Lintas manhaj dan organisasi. Kebersinggungan beliau dengan PKS, dengan Jamaah Tabligh, Salafi tetap tidak mencerabut diri beliau sebagai orang NU. Bahkan saya menggaransi, seandainya dada beliau dibelah, maka akan kita dapati di sana lukisan lukisan indah Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, bumi bulat, tali jagat dan bintang sembilan.

Kini Gus Wahid telah pergi. Insprasi soliditas ummat itu selalu akan kita kenang dan lanjutkan segenap juang dan kebaikan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalah beliau, menerima segenap kebaikan dan amal ibadahnya. Meninggal saat sedang mengajar santri di Pondok adalah satu di antara indahnya kematian.

Selamat jalan, Gus…
(Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: