Ada banyak motivator menulis, tersebar dari pesantren hingga kampus. Dari hotel berbintang hingga kafe-kafe. Tapi saya belum menemukan orang yang benar-benar serius seperti Prof. Ersis Warmansyah Abbas dalam memotivasi orang untuk menulis.
Pelatihan menulis dengan berbagai teori banyak kita temui diberikan oleh berbagai motivator dengan biaya-biaya mahal, yang sering kali tidak terjangkau kantong mahasiswa dan anak sekolah.
Prof. EWA tulus berbagi dan mendorong orang –siapa saja– untuk mau menulis. Karena menurut beliau, menulis itu memang bisa dilakukan semua orang, sebagaimana bicara, semua orang bisa melakukannya.
“Kalau ada orang yang sanggup berpidato hingga dua jam, atau berbicara hingga berbusa, tentu dia sebenarnya bisa menulis!” sergahnya pada satu kesempatan.
Pidato dua jam, andai itu dituangkan pada tulisan, entah sudah jadi berapa halaman.
Lho kan, bahasa verbal beda dengan bahasa tulis? Banyak orang menyoal ini. Itu kan anggapan teori yang sebenarnya tidak harus diikuti. Sebab ketika orang semakin rajin menulis, makin gaya tulisannya akan semakin terbentuk.
Tapi ketika orang sukanya hanya ngomong, ceramah atau orasi. Maka yang terbentuk adalah gaya bicaranya.
Prof. EWA tidak pernah memberikan materi bahwa menulis itu harus begini dan begitu. Yang beliau sampaikan adalah: tulis, tulis dan tulis. Tulis terusss!
“Sebab orang yang menulis, hasilnya pasti tulisan!” katanya, “Tapi yang sekedar bicara, hanya akan menghasilkan bualan!”
“Tulis apa yang sedang Anda pikirkan. Jangan memikirkan apa yang akan ditulis!” ini adalah satu di antara kalimat sakti yang menggerakkan para pemula untuk terus menulis.
Jika Pak Ersis telah menginginkan orang untuk menulis, maka orang tersebut akan dikawalnya, diteror dan dipaksa hingga tulisannya tuntas.
Baca Juga : Permata di Balik Permata
Begitulah dulu, ketika beliau memaksa saya menulis novel. Walau tertatih di bawah intimidasi beliau, akhirnya nover tersebut rampung.
Ini orang memang nyentrik. Seorang dosen, suka berambut gondrong, bercelana jeans dan memakai sepatu kets ketika mengajar.
Dengan gayanya yang gak usum sebagai seorang dosen, mendobrak kearifan kampus dan susah diatur, semua orang tidak percaya bahwa beliau bisa jadi guru besar.
Tapi jauh sebelum gelar profesor itu disandangnya, kami sudah mula memanggilnya Prof. Maka ketika beliau melakukan Tour Menulis di Jawa Timur, pada setiap kampus, pesantren dan kantor redaksi yang kami datangi, pada banner yang terpampang, selalu nama beliau dibubuhi Prof.
Eh, ternyata panggilan itu menjadi semacam doa, karena beberapa tahun kemudian beliau akhirnya benar-benar menjadi guru besar.
Kemarin siang, saya terkejut karena tetiba beliau mengetok pintu rumah saya. Beliau datang dengan seorang kawannya. “Saya ini mau menjenguk Abrar,” jelasnya ketika saya tanya dari mana.
Setelah kami berbincang, baru saya tahu kalau beliau sedang melakukan rentetan kuliah umum di berbagai kampus di Jatim: Unesa, UMM, UIN dan lain-lain.
Saya tersanjung mendapatkan kunjungan beliau, sebab di tengah-tengah anjangsananya, beliau menyempatkan diri untuk menjenguk saya.
Ada banyak nasehat pola hidup yang beliau sampaikan pada saya. Salah satunya, perihal rokok. Beliau dulu seorang perokok berat, sekarang sudah berhenti. Hasilnya memang beliau lebih segar dan tampak awet muda.
Pak Ersis tidak mau makan buah impor, maka kemarin saya suguhkan jeruk lokal. Sebab beliau juga tidak suka roti maryam, kebab dan sejenisnya.
Sekali lagi, terima kasih banyak, Prof, telah berkenan nyambangi saya. Semoga perjalanan Pian lancar dan terus menebar banyak manfaat bagi orang lain. (Abrar Rifai)
Terkait
5 Bintang Dunia dengan ADHD
Jujurlah!
Bersabarlah