Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Pandemi Covid 19, Mau Lockdown Atau Toss?

Oleh: dr. Rahadi Widodo

Lockdown memang berat. Tidak semua negara bisa menerapkan. Tapi pada akhirnya bila wabah sudah berubah menjadi bencana total, tidak ada pilihan lain terpaksa harus dilakukan. Dengan segala kepahitannya.

Pilihan lain bila tidak hendak melakukan lockdown adalah aksi isolasi yang masif dan efektif terhadap SEMUA orang yang POSITIF terinfeksi virus corona.

Untuk bisa melakukan itu, maka orang-orang yang POSITIF tersebut harus dicari, ditemukan, diperiksa, diisolasi, dan diobati sampai sembuh.

Mirip slogan TOSS TB ya?!

Temukan – Obati – Sampai Sembuh.

(Kalau untuk Covid 19 mungkin bisa dimodifikasi sedikit jadi TISS : Temukan – Isolasi – Sampai Sembuh).

Supaya rantai penularan bisa dihentikan.

Korea Selatan tidak memilih opsi lockdown. Tapi memilih opsi TOSS Covid 19 dengan melakukan pemeriksaan masif hingga lebih dari 10.000 pemeriksaan PER HARI!

Bayangkan kalau Indonesia memilih opsi seperti Korsel. Kalau satu pemeriksaan saja perlu biaya sekitar satu juta rupiah, maka sehari perlu biaya paling tidak 10 milyar rupiah. Entah perlu berapa hari sampai badai ini reda.

Itu belum biaya isolasi dan pengobatannya.

Dan Indonesia skalanya bisa lebih besar dari Korsel.

Dan catatan lagi, Korsel bisa memproduksi sendiri test kit covid 19. Tidak perlu impor. Tidak tergantung pada negara lain.

Baca juga : Andaikan Pandemi Covid -19 Adalah Metafora Dari Dosa dan Kedurhakaan

Kita punya program TOSS TB, tapi hingga hari ini penyakit tuberkulosis masih ada terus di Indonesia. Bahkan terus meningkat. Sekarang jumlah pasien TB di Indonesia nomor 3 terbanyak di dunia.

Jadi kalau Indonesia lebih memilih aksi TOSS COVID 19 dibanding lockdown, apakah kira-kira bisa dan berhasil?

Insya Allah bisa.

Asal ada kemauan kuat, pasti bisa.

Corona memang lebih “menyengat” dibanding tuberkulosis. Pemerintah mau tidak mau harus menumpahkan perhatian (dan dana) untuk menumpas wabah ini. Lebih perhatian dibandingkan terhadap tuberkulosis.

Puluhan tahun sejarah TB di Indonesia, belum pernah diberitakan ada menteri kabinet terserang TB saat sedang menjabat.

Lah ini, corona. Baru beberapa hari mendarat di Indonesia sudah satu menteri kabinet diembatnya. Gak tanggung-tanggung ya.

Maka tidak heran kalau pemerintah kali ini akan serius. Semoga benar-benar serius.

Dengar-dengar Kementerian Pertahanan sudah membeli 100.000 test kit untuk RS-RS di bawah koordinasi Kemenhan. Itu baik. Tentara memang selalu selangkah lebih cepat.

Walaupun masih debatable tentang akurasi test kit tersebut, tapi itu sudah menjadi langkah awal yang baik. Selanjutnya kita berharap pemerintah akan menyediakan lebih banyak lagi test kit yang lebih akurat berbasis PCR untuk bisa dilakukan pemeriksaan masif di banyak tempat di seluruh Indonesia.

Tidak seperti sekarang, ketika untuk mengusulkan pemeriksaan swab untuk pasiennya yang memenuhi kriteria PDP, dokter-dokter di Indonesia masih harus menghadapi birokrasi yang rumit, mbulet, dan berbelit. Tidak terbayang kalau begini terus ketika kasus sudah masif mewabah dalam jumlah besar.

Pandemi virus corona sudah ditetapkan sebagai bencana nasional di Indonesia. Bencana nasional ya, bukan darurat nasional! Sudah ada ketua BNPB sebagai ketua penanggulangannya. Kita harap sesudah ini pemerintah memang tidak main-main lagi. Serius. Kalau mau lockdown ya lockdown aja. Kalau mau TOSS ya segera TOSS, walau perlu biaya besar.

Serius atau tidaknya nanti bisa kita lihat dari berapa dana dari pemerintah pusat yang digelontorkan untuk menanggulangi wabah ini, bukan berapa yang dialokasikan untuk membiayai influencer.

Jangan sampai, lockdown enggak, TOSS pun enggak. Terus piye? Minum susu kuda liar.

Penulis adalah Dokter di RSUD dr. HM. Rabain Muara Enim.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: