Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Mengawinkan Minda dan Fuad

“Sharaha rahah,” kata orang Arab. Berterus-terang itu melegakan. Karena itulah saya selalu terbuka, ngomong secara terbuka. Bukan ngerumpi pada ruang-ruang gelap, yang banyak dipenuhi sampah dan lalat.

Saya selalu ngomong apa adanya, terus terang dan langsung sebut nama ataupun merk. Tidak pakai sindir menyindir. Sebab sekedar menyindir, tak mau berterus-terang, itu adalah perilaku para pecundang! Sejauh pergulatan saya di dunia maya, berhadapan dengan pembela atau buzzer rezim, buzzer PKS, pembela pejabat atau orang siapapun, saya tidak pernah meng-unfriend orang.

Walau sekeras apapun benturan yang terjadi! Kedewasaan itu adalah yang mau berdiskusi, berdebat apa adanya. Fokus pada konten, bukan mengalihkan pada hal lain.

Hadapi dengan tuntas! Kedewasaan itu bukan mengalihkan masalah dengan mengeluarkan orang dari grup, membuat grup dalam grup atau meng-unfriend, karena tak mampu berargumen. Atau sebenarnya sudah merasa salah, tapi malu ngaku! Saya pernah menyoal Mahfud MD, pada satu tulisannya kala itu di Jawa Pos.

Kebetulan tulisan bantahan saya tersebut di-repost di satu grup kumpulan para kiai Madura di Malang, yang dipimpin oleh Kiai Choirul Anam.Saya habis diserang. Serangan dikomandani oleh Makkaeh Oemar Hawariy.

Saya santuy saja merespon dan menangkis semua serangan. Mana yang perlu saya jawab, ya saya jawab. Mana yang tidak relevan, bahkan tidak nyambung, ya saya abaikan. Sesederhana itu. Jangan pernah takut pada kritikan, bahkan hujatan sekalipun.

Kalau hujatan itu betul, maka itu adalah koreksi terhadap sikapmu pada masa-masa yang akan datang. Tapi kalau hujatan itu tidak benar, maka biarkanlah dedaunan yang mencibir ketololannya. Pertarungan narasi itu harus dilakukan secara terbuka.

Baca Juga : Merawat Pusaka 

Keyakinan akan kebenaran harus diuji di hadapan orang ramai. Bukan sekedar doktrin pada lingkaran-lingkaran halaqah yang penuh dogma. Bukan pula kasak kusuk dalam grup atau ruang chat WA, yang serupa persembunyian setan kala merencanakan kejahatan terhadap anak cucu manusia.

Satu kali telpon saya diabaikan oleh Sekum DPW Partai Gelora Jawa Timur, Mas Misbakhul Munir. Sekali lagi malah di-reject. Segera saya chat, “Hey, Bro, aku telpon Sampean onok sing kate tak takokno, duduk kate njaluk duwek!” begitu saja, sharahah rahah. Di awal-awal Gelora diasaskan, saya pernah mengundang Fahri Hamzah melalui beberapa orang.

Dari mulai unsur struktur hingga orang-orang yang disebut asisten atau ajudannya. Saya ingin bawa Fahri keliling menemui kiai-kiai yang kebetulan banyak bertanya pada saya tentang diri Fahri. Tapi undangan diabaikan, gayung tak bersambut.

Segera saya tulis serangan pada orang Sumbawa keturunan Mandar tersebut. Sesederhana itu. Sharahah rahah. Tapi ingat, serangan sekeras apapun, jangan menggoyahkan dukungan. Jangan memesongkan komitmen perkawanan.

Maka sampai sekarang, saya tetap menganggap Fahri, Misbah dan lainnya sebagai orang-orang baik yang terus patut dijadikan kawan. Saya pernah mengkritik keras Abah Yai Musthafa Bisri (Gus Mus). Padahal beliau adalah kiainya kiai saya.

Tulisan saya viral, dengan berbagai variasi judul yang sudah banyak diubah. Tapi saya lokalisir kritikan saya pada satu titik. Bukan melebar kemana-mana. Kiai Mushthafa tetaplah mbah guru yang saya muliakan.

Belajarlah pada PDIP, sekeras apapun reaksi kader mereka terhadap sikap elit atau keputusan partai yang dianggap salah, tapi tetap saja mereka sampek gepeng melok banteng! Pun, sekeras apapun kemarahan Megawati dan elit lainnya kepada Ganjar Pranowo atau kader lain yang dianggap tidak selaras dengan garis partai, tak serta merta yang bersangkutan diusir dari kandang banteng.

Jaaauh sebelumnya, Sayyidina Ali –karramallahu wajhah– telah memberikan teladan, ketika dilawan oleh Muawiyah, beliau tak menyebut anak Abu Sufyan tersebut sebagai pengkhianat atau keluar dari jamaah.

Tapi Imam Ali berujar, “Hum ikhwanuna bagau ‘alaina.” Sayyidina Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu–, baik di jaman Rasulullah ataupun di jaman Abu Bakar selalu tampil keras menyampaikan sikap terhadap kepemimpinan dua orang mulia tersebut. Kritikan Umar ada yang diterima, tapi ada juga yang ditolak.

Tapi walau demikian, Sayyidina Umar tak pernah jeda memberikan pembelaan dan sokongan terbaik untuk Baginda Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallama– dan juga Sayyidina Abu Bakar –radhiyallahu’anhu–.

Maka, saatnya semua kita belajar mengelola minda dengan betul, serta menata hati dengan benar. Agar keduanya tidak saling menyelesihi. Sebab kebenaran dan kebaikan adalah paduan yang sempurna antara minda dan hati. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: