Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Traktir, Makan-makan dan Slametan

Makan-makan: saling traktir atau selametan dalam kehidupan sosial kita adalah hal yang tidak bisa dilepaskan. Ada yang bersifat insidentil sesekali, ada juga yang bersikap rutinitas atau terkait moment tertentu.

Semisal kalau seorang kawan mendapatkan pekerjaan baru, naik pangkat atau menduduki suatu jabatan. Adalah Syaikh Muhammad Abdurrahman Al Washobi yang menegaskan bahwa selametan atau menjamu orang adalah hal yang sangat penting dalam ajaran Islam.

Nyaris semua ajaran Islam terkait dengan kegiatan penyantunan dan jamuan.Zakat secara umum adalah untuk mencukupi kebutuhan (makan) para fuqara` dan para asnaf yang lain.

Baca Juga : Kenapa Orang Minang Memberi Nama Jawa Untuk Anaknya? 

Ini adalah rukun Islam yang memang secara khusus menjadi penopang tegaknya tatanan sosial masyarakat agar terjaga kesejahteraannya. Puasa pun tak lepas dari kegiatan penyantunan, karena ibadah ini dipungkasi dengan zakat fitrah yang waktunya secara khusus sepanjang bulan Ramadhan hingga hari pertama Syawwal.

Ibadah haji sangat terkait erat dengan pemberian makan manusia yang kemudian disyariatkan dengan ibadah kurban. Daging adalah makanan bergizi, untuk mencukupi gizi orang-orang miskin yang kesehariannya hanya memakan tahu, tempe, kerupuk dan berbagai macam jelata lainnya.

Bahkan shalat sekalipun ada anjuran bersedekah sebelum atau sesudah menunaikan shalat.Tersebutlah dulu ada seorang shahabiyah yang setiap Jum’at mengadakan jamuan besar. Sehingga para sahabat setiap selesai menunaikan ibada shalat Jum’at pergi ke rumah perempuan tersebut untuk makan-makan.

Di Lawang, kota tempat tinggal saya ada seorang Hababah yang bernama Alawiyah Binti Abu Bakar Alaydrus, semasa hidupnya melakukan kebiasaan sebagaimana shahabiyah di atas.Hababah Alawiyah pun setiap Jum’at masak banyak.

Menyembelih kambing dan menyediakan berbagai lauk yang enak-enak. Beliau mengundang jamaah Masjid Diponegoro selepas shalat Jum’at untuk makan-makan di rumahnya.

Kebetulan memang rumah Hababah Alawiyah dekat dengan Masjid Diponegoro.Lebih jauh lagi, kegiatan memberi makan dalam Islam itu merambah sampai pada denda atau tebusan berbagai pelanggaran, seperti yamin (pelanggaran sumpah), zhihar (menganggap istri sebagai ibu) dan alqatl alkhatha` (membunuh tidak sengaja).

Untuk pembahasan lebih jelas terkait denda atas berbagai pelanggaran di atas, sila merujuk pada kitab-kitab fikih. Sebab ada pilihan membayar denda selain memberi makan. Sebagaimana juga ada yang bersifat pilihan dan ada yang bersifat urut-urutan sesuai kemampuan.

Mensebadani istri di siang hari Ramadhan kaffaratnya juga memberi makan. Mensebadani istri yang sedang haid juga adalah harta (memberi makan), yang disebutkan secara eksplisit sejumlah satu dinar. Ada yang menyebut satu dinar di awal haid, sedang di akhir haid setengah dinar.

Bayi lahir kita juga menggelar makan-makan. Menyembelih dua kambing untuk anak lelaki. Satu kambing untuk anak perempuan. Ada juga riwayat yang membolehkan satu kambing untuk anak lelaki.

Sepulang bepergian jauh semacam haji dan yang berjarak serupa, kita juga dialu-alukan untuk menggelar makan-makan. Selepas pembangunan rumah, slametan peresmian kantor baru slametan gudang baru dan sebagainya, pun kita biasanya makan-makan.

Bahkan pada saat pelaksanaan shalat istisqa` hendaklah juga menggelar makan-makan, di tengah harap turunnya hujan setelah sekian lama bumi tandus tak berair.Ada juga yang menyebut saat kusuf (gerhana matahari) dan khusuf (gerhana bulan), sebaiknya juga ada suguhan untuk makan-makan.Saat ada kematian, kita dituntut untuk menjaga keluarga yang ditinggalkan tetap tercukupi kebutuhan makannya.

Maka karena itulah saat takziah kebiasaan masyarakat kita membawa beras atau memberi santunan dalam bentuk uang. Orang sakit juga dituntut untuk memberi makan orang lain. Bahkan pada sakit medis sudah tak menemukan obat, sebaiknya kita banyak bersedekah.

Karena dengan sedekah, seringkali keajaiban didapatkan, yang sakit tiba-tiba sembuh. Begitulah Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Dawu mardhakum bisshodaqah = Berilah obat orang-orang sakit di antara kalian dengan bersedekah.” Yang paling tidak bisa dihindari adalah saat pernikahan. Pada acara ini malah seringkali sebagian orang berlebih-lebihan dalam mengadakan pesta.

Makan berlimpah ruah, sehingga tak termakan. Pun hal lain terkait perkawinan begitu berhambur. Berlebihan semacam itu yang tidak boleh. Tapi secara umum, bahwa kegiatan makan-makan, membuat jamuan, selametan, saling traktir dan bahkan pesta, itu dianjurkan sebagai bentuk kesyukuran atas segala kurnia dan juga sebagai bentuk keredhaan atas cobaan yang melanda. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: