![](https://i2.wp.com/www.orangramai.id/wp-content/uploads/2024/07/mandailing-natal_2.jpg?fit=1024%2C576&ssl=1)
Akhirnya perjalanan saya di Sumatera, sampai ke Sumatera Utara. Kabupaten pertama yang kami tapak adalah Mandailing Natal.
Serius, sepanjang jalan menyusuri jalan di Mandailing Natal menuju Tarutung, saya bertanya-tanya, karena nyaris tak saya temui perempuan yang tidak berkerudung.
Secara namanya aja Mandailing Natal, nama yang sangat identik dengan nasrani. Tapi ini kok ibu-ibu dan kakak-kakak pada berkerudung?
Belum terjawab pertanyaan saya, hungga saya melintas di satu ruas jalan, kanan kiri terdapat gubuk-gubuk sederhana yang berjajar. Banyak banget.
Penasaran saya turun. Saya mem-video gubuk-gubuk panggung, yang di bawahnya banyak tergenang air itu. Saya masuk ke gang-gang kecil, semakin banyak saya temui gubuk serupa.
Karena hampir semua pintunya terbuka begitu saja, saya pun melongok. Tak ada yang berpenghuni. Tapi menyaksikan setiap ruangnya, tidak menunjukkan bahwa bangunan-bangunan ini terbengkalai.
Ada banyak tulisan-tulisan Arab khas kamar santri. Ada juga yang menulis asal daerahnya masing-masing. Seperti Medan, Palembang dan lain-lain.
Kampung sekitar sepi. Mungkin karena sedang berpuasa, siang yang panas, sehingga orang-orang memilih untuk berehat di dalam rumah.
Ada seorang ibu yang hendak menyeberang. Segera saya tanya, “Tempat apa ini, Bu?”
Ibu tersebut menjelaskan, bahwa bangunan-bangunan panggung kecil itu adalah rumah-rumah santri Pesantren Musthafawiyah. Tapi karena bulan Ramadhan, maka semua santri libur, pulang.
Akhirnya saya semakin penasaran. Saya pun bertanya kediaman kiainya. Sayang, kami tidak bisa berjumpa dengan kiai, pengasuh pesantren tersebut.
Tapi atas seijin petugas di sana, kami dipersilakan masuk dan berkeliling di pondok putri.
Bangunan pondok putri sangat berbeda dengan gubuk-gubuk asrama pondok putra tadi. Untuk pondok putri, dibangun sebagaimana mestinya. Gedung-gedung yang dilengkapi kamar.
Sebenarnya saya ditawari untuk melihat ke dalam. Boleh, karena santri juga pada pulang. Tapi saya menolak, “Cukup Bang, saya lihat dari sini aja,” kata saya.
Oiya, akhirnya keheranan saya tentang banyaknya perempuan (nyaris semua) yang memakai kerudung, terjawab. Ternyata Kabupaten Mandailing Natal sembilan puluh persen penduduknya beragama Islam.
Maka, tak heran kalau para muslimat memakai jilbab sebagaimana mestinya. Tapi yang luar biasa menurut saya, di Jawa atau tempat lain yang mayoritas penduduknya Islam pun, banyak perempuan-perempuan tak berkerudung.
Tapi di Mandailing Natal kaum hawa pada berkerudung. Sehingga yang tidak berkerudung sepertinya adalah ibu-ibu dan kakak-kakak non muslim. Karena memang tidak wajib.
Setelah selesai dari ketertegunan saya di Musthafawiyah, kami pun lanjut jalan. (Abrar Rifai)
Sila tengok videonya ya, Kawan-kawan…
Abrar Rifai, 26 Januari 2022
Terkait
Camping Sendirian, Sunyi
Kembali Sowan ke Narukan (2) : Kebersahajaan Gus Baha
Kembali Sowan Narukan (1)