Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Yang membedakan Jalur Lintas Barat Sumatera dengan jalur lain di Sumatera, jalur ini dipastikan aman. “Mau tengah malam Abang berhenti di tepi jalan, tak akan ada yang mengganggu!” tegas seorang warga yang saya tanya.

Jalur Lintas Barat Sumatera menghubungkan Bengkulu dan Padang. Namun kami tidak masuk Bengkulu, sebab dari Kerinci mau balik ke Bengkulu itu sudah jauh berputar. Pun, seorang kawan yang akan saya kunjungi di sana, sedang tidak ada.

Baca Juga : Sambutan Hangat #1 Catatan Jamda Fevci Chapter Bali 

Kami pun tidak melintasi Kelok Sembilan, yang sedari awal sebenarnya sudah masuk daftar jalan yang teringin untuk dilalui. Tapi sudah terlanjur berada di Kerinci, jalur yang paling tepat untuk menuju Padang, ya melalui Tapan dan Painan.

Serius Jalur Lintas Sumatera adalah jalan yang paling saya suka. Sebab sepanjang jalan, di sebelah kiri terpampang pemandangan laut yang begitu hangat. Sedang di sebelah kiri, rumah-rumah penduduk yang sebagiannya nelayan, berjajar rapi.

Namun satu hal yang saya heran, kenapa atap rumah di sini, nyaris semuanya seng. Tidak ada genting atau lainnya. Apa tidak panas? Padahal ini adalah kampung pesisir!

Sesuai dengan rute, setelah dari Kerinci, kami akan ke Puncak Mandeh, sebelum ke Padang. Maka, map waze pun kami arahkan ke kawasan wisata yang pernah diresmikan Jokowi tersebut.

Sampai pada satu jembatan, saya sempat ragu melintasinya. Tapi seorang pemuda meyakinkan, “Betul, Bang, itu jalannya. Kuat itu, gak mungkin roboh. Itu memang jalannya mobil!”

Perpaduan pantai di sebelah kiri dan tebing di sebelah kanan, ini adalah rupa alam yang kami dapati sebelum sampai di Puncak Mandeh.

Kami benar-benar menikmati perjalanan kali ini. Serasa betul, bahwa kami sudah jauh dari rumah. Bahasa Minang, yang kami dengar dari lisan orang-orang yang kami temui di sepanjang jalan.

Pun, ketika kami berhenti di sebuh pasar, membeli makanan untuk berbuka puasa. Awalnya diajak bahasa Minang, tapi karena saya menyahut dengan bahasa Indonesia, akhirnya merekapun ikut.

Sore menjelang, walau matahari masih tinggi. Waktu Asar tiba. Tapi kami sudah tidak gupuh untuk shalat Asar, sebab sudah kami jamak taqdim dengan zhuhur saat tadi kami berehat di suatu pantai.

Sampai di Puncak Mandeh, kami benar-benar terpukau dengan keindahannya. Pulau-pulau kecil tersebar rata di hamparan teluk ini.

Menyaksikan dari atas, kita seperti berada di hadapan lukisan raksasa. Air laut tenang, angin teduh. Panas tidak menyengat, sebab ia disapu angin yang meredakan baranya.

Gundukan pulau-pulau kecil itu hijau. Kok bisa, padahal ia berada di tengah laut. “Iya Bang, sebab itu adalah bukit!” seru seorang kawan yang baru saya kenal beberapa saat yang lalu.

Ia sempat menawari kami untuk datang ke satu pulau –entah apa namanya, saya lupa, namun kami menampik. “Bagus di sana, Bang. Nanti bisa berenang, mancing dan bakar ikan.”

Bukan kami tidak tertarik, tapi mengingat budget yang kami punya, itu tidak mungkin!

Sebab kami ini adalah petualang bonek, yang hanya berbekal kemauan dan tekad buncah untuk menatap Indonesia dari semua punggungnya.

Sungguh Indonesia itu teramat indah. Dari ujung ke ujung penuh keindahan. Sumatera sebagai pulau terbesar ke dua setelah Kalimantan, pun menyuguhkan keindahan yang tak terkira.

Perjalanan kami keliling Sumatera selama 36 hari pada bulan Ramadhan yang lalu, kali ini sudah sampai di Sumatera Barat. Tepatnya di Puncak Mandeh.

Rasa tak ingin beranjak dari teluk eksotik yang biasa disebut Raja Ampat-nya Sumatera ini. Papua punya Raja Ampat, Sumatera punya Puncak Mandeh.

Tapi perjalanan harus tetap kami lanjutkan. Maka, walau rasa tak jua puas menikmati keindahan Puncak Mande, kami tetap harus lanjut jalan. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: