Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Mbah Bungkuk dan Tahlil Rerumputan

Mbah Bungkuk dan Tahlil Rerumputan by orangramai

Oleh : Vina N Istighfarini

Usianya kutaksir hampir seratus tahun. Kakek bertubuh jangkung dengan baju yang seringkali kusut dan lusuh. Meski, kadang agak rapi bila mengenakan baju batik lengan panjang. Kopiah hitamnya sudah memudar, tameng setia dari sengatan langsung matahari. Kakinya beralaskan sepatu bot seperti yang biasa dipakai tukang kebun.

Mbak Bungkuk, aku menjulukinya.

Terkadang bibirnya menjepit rokok murahan. Gerobak baginya ibarat gadget anak muda milenial, yang dibawa ke mana pun dia pergi. Isinya peralatan berkebun seperti arit, cangkul, cetok, pisau, sapu lidi, serta barang rongsokan sederhana yang dia temui, seperti botol dan kayu bekas.

Ada satu barang yang tak pernah tertinggal olehnya. Kursi kecil bulat berbahan plastik yang ia pakai untuk duduk sembari mencabuti rumput liar di taman. Kursi itu terkadang menjadi alas tidurnya. Bagaimana ia bisa tidur dengan nyaman di kursi kecil pendek, aku tak habis pikir.

Baca Juga : Siapakah Habib Itu?

Ia bukan peminta-minta, meski tidak pernah menolak jika kau memberinya nasi bungkus, rokok, minuman, atau aneka camilan lain. Pekerjaannya membersihkan taman perumahan. Setiap hari ia berkeliling taman membersihkan rerumputan liar yang meninggi. Kau bisa melihat perbedaan bagian taman yang telah ia bersihkan dan yang belum.

Aku sering bertanya dalam hati, apa yang membuat ia bekerja sukarela, tanpa dibayar. Kadang kutemui dia dengan tenang tidur di emperan rumah kosong. Terlihat begitu nyenyak dalam tidurnya.

Pertanyaanku kemudian terjawab. Rerumputan yang hendak ia bersihkan suatu kali berbisik padaku, Mbah Bungkuk mengucapkan satu kalimat tahlil untuk setiap satu batang rumput yang lepas dari tanah.

Penjelasan sang rumput menamparku. Dengan rumah yang layak huni, baju layak pakai, makanan yang mengenyangkan, zikirku ribuan kali lebih sedikit dibandingkannya. Jika setiap habis shalat wajib aku mengucapkan kalimat tahlil sebanyak 33 kali, maka sehari aku hanya melafazkan sebanyak 165 kali. Jika terlalu disibukkan dengan urusan dunia, terkadang hanya kubaca 11 kali. Bahkan sering juga tidak kubaca. Apalagi saat aku meninggalkan shalat secara wajar maupun tak wajar.

Ah, mungkin aku yang memang keterlaluan pada penciptaku.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: