Oleh: Wiwin Rahma Suryanti
Petani Pulang Saat Senja
Ingatanku melayang ke suatu senja di kaki Gunung Penanggungan. Berpuluh tahun lalu, saat senja selalu menyuguhkan eksotisme para petani memanggul cangkung di pundaknya yang tengah pulang dari sawah. Tak ketinggalan caping bambu di kepala atau menggantung begitu saja di leher.
Sambil berjalan berjajar di pematang sawah, bersama para ibu yang membawa bakul bambu di atas kepala. Riuh rendah suara mereka bercengkerama. Itulah cara mereka menghilangkan lelah setelah seharian bekerja.
Burung-burung beterbangan di langit, seolah mengiringi langkah mereka. Jika petani kembali ke rumah surga mereka, burung-burung itu kembali ke sarangnya.
Pemandangan para petani pulang saat senja itu, kini tinggal sejarah. Tak ada lagi sawah terhampar di kaki gunung itu. Seluas mata memandang tertutupi dinding-dinding beton produk industrialisasi. Entah ke mana para petani itu pergi.
Baca Juga : Minda Saya Merdeka!
Di senja saat pandemi Covid-19 ini, tetiba orang rindu kembali bertani. Dinding media sosial dihiasi banyak tutorial bagaimana mengisi waktu di rumah dengan menanami bumi yang makin sempit ini. Polibag, pipa paralon, bibit tanaman, tanah berpupuk organik menjadi benda trendi dan banyak dicari.
Blessing of disguise. Selalu ada hikmah di balik musibah. Ini manusiawi.
Sangat manusiawi.
Tak perlu disesali hilangnya pemandangan petani pulang saat senja di kaki Gunung Penanggungan kini. Bersyukur dan selalu bersyukur karena nikmat Ilahi tak pernah berhenti. Meski Bumi Pertiwi masih bersedih hati, akan selalu ada esok hari selama Dia Kehendaki.
Paser@senja 5 Juli 2020
Terkait
Hewan Bukan Aksesori Belaka!
Rumus Tekanan (Hidup)
Kemanusiaan