Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Memenuhi Panggung Merdeka

17 Agustus itu selalu istimewa. Karena ini adalah hari kita berani lantang mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada dunia. Walau sejatinya hingga kini kita belum sepenuhnya merdeka.

Dari ujung rambut hingga kaki, kita masih terpasung. Dari timur ke barat kita masih bangsa yang dikendalikan orang lain.

Perut bumi kita diurai. Isinya diangkut keluar dari rumah kita. Mata kita hanya terbelalak menyaksikannya, tanpa pernah tahu mau berbuat apa. Kita terus dipecundangi dengan perjanjian ini itu, kontrak apalah entah apalah. Hingga berapa tahun tak berbilang.

Hutan kita dicabik-cabik. Potong-potongannya dilarung menuju negara negara asing. Dari Asia hingga Eropa, Amerika. Dari Borneo hingga ke China. Banyak pula yang transit dulu di Singapura.

Kita hanya panik menyaksikan keporak-porandaan di sana sini. Ancaman banjir, longsor hingga gulungan asap adalah momok yang terus menghantui kita sebagai pemilik rumah.

Lautan kita luas pun hanya bisa kita ambil isinya dengan pancing dan jaring-jaring sederhana milik nelayan tradisional.

Sementara pukat harimau atau alat modern lainnya adalah milik mereka, para pendatang yang datang mendulang. Baik dengan cara legal atau pun tak legal. Baik yang sudah ditenggelamkan atau pun yang masih berlayar dengan leluasa.

Sementara para pemangku kebijakan tak pernah serius membina, memfasilitasi dan membiayai para nelayan.

Orang Bajo, si pelaut ulung pun tetap dengan kesahajaannya. Hanya menyelam ke dasar laut dengan bedil sederhana, menembaki satu persatu ikan yang berlalu-lalang. Sebagiannya tetap pongkat dengan bidok kayu, mesin 10-PK dan jaring yang tetap itu-itu saja.

Usah bicara ekonomi makro yang teorinya mengangkasa itu. Yang pasti, pajak yang dibebankan kepada rakyat kecil semakin mencekik. Semua makanan yang kita beli dipajaki. Semua jalan yang kita lalui, kendaraan yang kita tumpangi dipajaki. Rumah rumah yang didiami, dipajaki!

Sementara para cukong, pengusaha besar terus menghitung cara mengakali banyak. Difasilitasi, dibantu hitung hingga menghasilkan hitungan yang tidak seharusnya.

Maka, ketika dulu dari Pengangsaan Timur 56, rumah Faradj bin Said Awad Martak kita teriakkan kemerdekaan, sampai sekarang pun kita masih harus gigih berjuang mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hingga nanti tanah, laut dan udara sepenuhnya menjadi milik kita. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: