Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Masjid, Sekolah, Pandemi, dan Kecintaan Pada Negeri

Oleh : Ita Nurita

Beberapa waktu lalu di bulan Syawal, ketiga anak laki-laki kami mengajak berjalan-jalan keluar. Tadinya hanya ingin membeli makanan untuk berbuka, agar suasana lebih berbeda. Namunkarena para kru cilik ini mau ke Islamic Center untuk memainkan mobil remotenya, maka kami memutuskan mampir ke masjid yang bagi kami penuh kenangan itu.

Dari depan, masjid megah ini tampak sepi, hanya ada kira-kira tujuh mobil terparkir di halamannya, ditambah beberapa motor. Terlihat juga beberapa keluarga duduk di pojok terasnya. Sepertinya bukan orang daerah sini. Memang cukup banyak masyarakat dari daerah atau kota lain, berziarah ke masjid ini.

Sangat berbeda dengan kondisi sebelum pandemi, biasanya area parkir mobil dan motor penuh. Begitu juga teras halaman yang diminati banyak keluarga, tidak hanya untuk menunaikan shalat atau ibadah lainnya, tapi juga menjadi tempat rekreasi keluarga.

“Sepi ya… kapan masjid ini penuh kembali?” tanya suami, seakan bertanya pada dirinya sendiri. Suara yang terdengar lirih, menggambarkan suasana hati.

Saya pun jadi ikutan merasa sedih, meski perempuan seperti kita jarang shalat ke masjid.Jadi teringat juga perasaan yang sama saat beberapa waktu lalu, saya mengunjungi sekolah yang saya pimpin. Kebetulan memang ada berkas yang harus saya ambil di kantor. Ketika akan memasuki halaman sekolah, terlihat sekali bangunan begitu sepi. Padahal, meski masa liburan sekalipun, kami sering mengagendakan pertemuan-pertemuan, entah itu rapat, membuat berbagai alat peraga, menghias kelas, atau sekadar kerja bakti beberes kelas, kantor, hingga taman kecil di depan sekolah. Pertanyaan yang sama kadang hadir di dalam hati, “Kapan ya… bisa ramai lagi? Rindu bersama anak-anak….”

Dari dua tempat ini saja, rasanya sudah cukup mengaduk-aduk perasaan saya. Betapa tempat tempat seperti inilah yang memang paling sering kami kunjungi, baik di dalam kota atau lintas provinsi.

Setiap perjalanan pulang kampung atau ke tujuan wisata, kami selalu mampir mengunjungi masjid dan sekolah yang ada. Saya senang memperhatikan berbagai ornamen bangunan masjid yang unik. Ada yang memiliki bedug besar—sebesar pintu masuk masjid, ada yang ukirannya yang indah, ada pula yang memiliki Al-Qur’an tua dan besar berukuran 400 cm, dan banyak lagi kekhasan dari masjid-masjid yang kami kunjungi. Tak lupa saya mendokumentasikannya, dan foto-fotonya masih tersimpan rapi di laptop maupun flash disk.

Begitu juga sekolah. Saya sering membuat jadwal tambahan, di sela perjalanan mengikuti pelatihan, diklat, atau acara keluarga, untuk menghubungi teman di daerah tersebut—yang kebanyakan satu profesi sebagai guru. Kemudian saya akan menemui dan mengunjungi sekolahnya.

Baca Juga : Delapan Kali

Kini, pandemi Covid-19 menjadi jarak yang membatasi secara fisik. Walaupun kita optimistis semua akan berlalu, tapi waktu berakhirnya tidak ada yang bisa memastikan. Bagaimanapun, masjid harus penuh, karena masjid harus dimakmurkan dan disejahterakan. Biaya operasional masjid cukup besar, dan salah satunya bersumber dari infak jamaah. Sementara dengan peraturan yang diterapkan saat pandemi, yakni pembatasan shalat dan aktivitas di masjid, menjadikan masjid kehilangan banyak peluang donasi.

Begitu juga sekolah. Gedung yang dibangun harus cepat beralih fungsi. Pembelajaran di ruang kelas dapat berubah—dengan mengkombinasikan pertemuan on line dan off line. Namun bila SDM tidak mampu atau manajemennya tidak siap, sekolah bisa saja tutup. Pendidikan dikembalikan kepada keluarga masing masing, sehingga sekolah sebagai tempat bersosialisasi dan berinteraksi secara fisik mungkin tidak akan ada lagi. Anak belajar di rumah dan guru pun mengajar dari rumah.

Di sela selaksa rindu ini, tak ada sedikit pun rasa menyesali keadaan, atau hanya berkeluh kesah berpangku tangan. Tugas kita memperbaiki diri menyesuaikan dengan kondisi. Semoga dengan berpikir sejenak dan merenung sesaat, ada ide yang dihasilkan. Mungkin tampak tidak berarti, tapi yakinlah Allah memberi ujian, agar kita semua sadar diri dan kembali. Sebab Dia rindu kita meminta dan mengiba.

Sebagai anak bangsa, tak patut bila berputus asa. Masih ada banyak jalan untuk mengubah keadaan, seperti yang dikatakan Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Bapak Hadi Mulyadi: “Bila tak bisa menjadi mata air, maka jadilah jalan setapak yang mengantarkan pada mata air.”

Terlepas dari pendapat sebagian pihak bahwa pandemi ini sebuah konspirasi, pada dasarnya yang sekarang sedang berlangsung adalah perang supremasi. Tidak ada kalah menang, tapi pandemi ini akan melemahkan. Menurut Bapak Anis Matta, bila pengelola negara tidak pandai mengatasi krisis, bisa jadi ada negara-negara yang gagal—yang tentu tidak kita inginkan.

Mari kita kuatkan diri, keluarga, dan masyarakat kita. Meski kita pasrah pada Allah yang Maha Menentukan, tapi kita jangan menyerah untuk Indonesia. Indonesia tercinta.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: