
Bahwa khilafah adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan besar Islam, tentu kita tak boleh mengingkarinya. Tapi khilafah seperti apa, ya tunggu dulu!
Ini banyak sekarang orang-orang yang untuk sekedar menepuk-nepuk pundak HTI atau untuk menyerang Banser dan orang-orang yang memusuhi HTI, kemudian membuat pembenaran membabi-buta.
Semisal memunculkan seruan-seruan Bilal Shalat Taraweh yang menyebut: Al Khalifatul awwal, Al Khalifatus Tsani dan seterusnya yang diiringi penyebutan nama-nama empat orang khulafa`ur rasyidin.
Untuk kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman dan Sayyidina Ali tak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang Syiah. Ini adalah hal yang mu’tamad dalam ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
Kita sudah mempercayai itu jauuuuh sebelum ada HTI!
Kemudian penyebaran suara rekaman Mbah Nun (Emha Ainun Najib) yang memberikan paparan tentang penyebutan kata khalifah oleh Allah untuk menyebut makhluk yang bernama manusia. Berdasarkan ayat, “Inni ja’ilun fil ardhi khalifah…”
Kalau untuk itu, kita yang sekedar baca Qur`an terjemahan pun sudah mengetahuinya. Yang dimaksud dalam ayat tersebut menyebut manusia sebagai khalifah adalah sebagai pengelola bumi. Mengurus bumi, memakmurkan bumi dan seterusnya.
Secara sederhana khalifah yang dimaksud adalah manusia untuk mendiami bumi. Bukan yang lain.
Adapun khalifah yang dimaksud sebagai sebuah negara, ini adalah hal yang berbeda. Kalau kita mau kerucutkan, definisi yang memenuhi sebutan negara sebagai khilafah itu sudah selesai bersamaan dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan Muawiyah dari tangan Sayyidina Ali.
Sedangkan kepemimpinan Muawiyah dan keturunannya, secara substansi sudah bukan kekhilafahan lagi. Walau mereka masih menyebut diri sebagai khalifah.
Begitu juga dengan kepemimpinan Dinasti Abbasiyah yang dimulai dari Abdullah As-Saffah -setelah sebelumnya melakukan penumpasan besar-besaran terhadap Bani Umayyah, pun tidak bisa secara substansi disebut khilafah.
Baca Juga : HTI Biarkan Saja!
Maka kemudian untuk merujuk terminologi khilafah yang sebenarnya, ada tambahan: Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Inilah yang kita yakini bersama bahwa khilafah tersebut akan kembali tegak nanti saat kemunculan Imam Mahdi.
Nah, sembari menunggu datangnya Imam Mahdi yang tak seorangpun di antara kita tahu kapan pasti kedatangannya, pilihan negara bangsa itu adalah niscaya.
Dalam konteks Indonesia, ya NKRI ini adalah negara kita. Tidak usah berilusi untuk membentuk Khilafah ala Minhajin Nubuwwah, sementara kita masih kerdil dalam segala lini.
Kewajiban kita saat ini adalah merawat Indonesia untuk terus tegak, dengan kesepakatan yang telah final: Pancasila dan UUD 1945.
Kalau mau memaksa menyebut Umayyah, Abbasiyah sampai Turki Usmani sebagai khilafah, maka NKRI ini adalah khilafah kita.
Untuk menganggap Indonesia sebagai khilafah, tidak perlu diubah namanya menjadi kekhalifahan Indonesia dan kemudian menyebut pemimpinnya menjadi Khalifah Joko Widodo.
Ummat Islam di Indonesia harus bangkit dari keterpurukan dan keterpinggiran. Belajar yang cerdas pada semua bidang. Bagaimana agar ekonomi bisa kita kuasai, teknologi kita kuasai dan berikutnya politik kita yang harus berkuasa!
Untuk itu, kita tidak usah ngurus ide khilafah yang diusung HTI. Biarkan mereka terus membuat buletin, mengibarkan bendera, memasang pamflet, sesekali membuat muktamar khilafah dan puncaknya mengajukan munasoroh kepada pimpinan politik yang menjadi pemenang.
Adapun terkait pelanggaran hukum yang mereka lakukan, semisal penghinaan kepada Presiden, tidak mau mengibarkan bendera merah putih dan lain sebagainya, biar itu menjadi urusan Polisi dan Tentara.
Banser sebaiknya kembali kepada jatidirinya menjadi penjaga ulama, pesantren dan semua hal yang menjadi milik ummat.
Sebab mengintimidasi orang, mempersekusi dan sejenisnya, terlepas yang bersangkutan memang salah, itu hanya akan menjadikan wajah Banser semakin berarang. (Abrar Rifai)
Terkait
Menemukan Keseimbangan Lewat Digital Detox
Hewan Bukan Aksesori Belaka!
Adab Tidur