Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Hablun Qashir

Sinetron itu memang menarik. Sarah selalu bercerita pada Ahmad, adiknya setiap kali usai nonton.

Jadi, walau Ahmad tidak pernah menyaksikannya sendiri, ia tahu semua tentang alur cerita sinetron tersebut.

Seorang ibu yang kehilangan anaknya, karena diculik segerombolan mafia. Ahmad penasaran. Lama-lama ia ingin menonton sendiri sinetron tersebut.

Tapi sang ayah selalu melarang. Sebab jam tayangnya berbarengan dengan jam belajar Ahmad.

Hingga sampailah pada episode terakhir. Kali ini Ahmad bersikeras ingin ikut nonton. Ia pun merengek pada ibunya. “Ayolah Bu… Boleh, ya. Sekaliii ini aja.”

“Ibu sih gak masalah, Nak. Tapi ayah gimana?”

”Bu… Plis Bu, bilangin ayah!” Ahmad terus maksa.

Akhirnya sang ibu mengalah. Ia pun menemui suaminya. “Yah, malam ini Ahmad mau nonton sinteron bersama kita,” ujarnya.

Sang ayah tidak segera menjawab, tapi ia melihat ke anak lanangnya yang berdiri tertunduk di samping ibunya.

”Ahmad ada PR, gak?”

Segera Ahmad menjawab, “Ada, Yah. Tapi sudah Ahmad kerjakan.” Sesaat setelah menjawab, Ahmad sadar bahwa ia telah berbohong pada ayahnya. PR belum ia kerjakan.

Tapi Ahmad bergumam dalam hatinya, “Kenapa harus takut? Nanti setelah nonton, aku akan mengerjakannya di kamar.”

Seru! Cerita episode terakhir malam itu berhasil membuat Ahmad benar-benar menikmati. Ia ikutan tegang, saat para polisi yang akan membebaskan anak yang diculik beradu tembak melawan para mafia.

Belum lagi ketika seorang penjahat menempelkan pistol ke leher si anak. Tapi berkat kepiawaian polisi, akhirnya anak tersebut berhasil diselamatkan.

Ceritanya happy ending. Ahmad menarik nafas lega. Begitu juga dengan kakaknya. Ayah dan ibu mereka tertawa, melihat setiap ekspresi Ahmad dan Sarah yang seakan terlibat dalam cerita yang sesungguhnya.

Setelah sinetron usai. Ahmad kembali teringat PR matematika yang belum diselesaikannya. Ia segera menyambar tas sekolah. “Lho, kenapa kamu bawa tas dan buku ke kamar, Ahmad?” tanya ayahnya.

”Mmm, anu, Yah. Ahmad mau merapikannya. Biar besok tinggal berangkat.”

“Owh. Iya wes. Setelah itu buruan tidur!”

Pintu kamar ditutup. Ahmad sadar bahwa malam ini ia telah dua kali berbohong pada ayahnya.

Ahamd membuka buku matematika. Lembar-lembar PR yang harus dikumpulkannya besok, ia pelototin satu persatu.

Ia mulai menulis di atas buku tulis. Tapi rasa kantuk menyerang. Ahmad bertahan. Berkali-kali pensil itu terlepas dari tangannya. Ia raih kembali.

Sampai akhirnya Ahmad rebah. Ia sudah tak mampu lagi melawan kantuk.

Pagi harinya, Ahmad menemui ibunya. ”Bu, Ahmad gak sekolah ya hari ini…”

”Lho, kenapa?”

“Ahmad pusing.”

Mendengar jawaban Ahmad, sang ibu panik. Ia pegang kening anaknya. Tapi tidak panas. Ia ambil termometer, pun normal-normal saja.

“Kamu pusing kenapa, lha wong gak panas gini?”

”Ya pusing, Bu. Ahmad pengen istirahat.”

Tapi saat Ahmad digandeng ibunya menuju kamar, sang ayah muncul dari ruang tengah. “Lho, Ahmad kok belum siap-siap sekolah?”

“Dia pusing, Yah. Biar istrirahat dulu. Nanti kalau sempat ayah ke sekolah, ngijinin Ahmad.”

Sang ayah mendekat. Ia pegang dahi Ahmad. “Mad, apa kamu bisa tidur tadi malam?”

“Tidur kok, Yah.” bergetar suara Ahmad. Ia sadar, pagi ini pun sudah berbohong pada ayah dan ibunya.

“Apa PRmu sudah kamu kerjakan?”

”Sudah, Yah…” semakin kencang degup jantung Ahmad.

“Sekarang buruan mandi!” sang ayah menarik Ahmad. Membawanya ke kamar mandi.

Sang ibu yang menyaksikan adegan tersebut, hanya terdiam. Ia pun mulai sadar, bahwa anaknya sudah berbohong.

Begitulah, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebobolan lain. Cepat atau lambat akan terungkap juga. Ia adalah tambang yang teramat pendek, walau tampak panjang. “Al kadzibu hablun qashir, mahma thala,” begitu kata orang Arab.

(Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: