Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Ini adalah minggu ke tiga aku tak bisa pergi sekolah. Sungguh asap ini telah membuat kehidupan di Jambi tehenti. Sekolah diliburkan. Kantor-kantor banyak yang tutup. Bahkan lalu lintas pun sepi. Mungkin satu dua mobil lewat, adalah mereka yang keperluannya keluar rumah tidak bisa ditunda.

Padang dan kota-kota lain di Sumatra Barat sejauh berita yang aku dengar masih aman. Tidak seperti Riau dan Jambi, yang seluruh warganya kini harus bernafas dalam asap.

Sebenarnya sekolah kami tidak tutup total. Di grup WA aku ketahui masih ada beberapa teman dan guru yang nekat datang ke sekolah. Tapi ibu melarangku, “Nanti saja, kalau asap sudah benar-benar hilang kau sekolah lagi.”
“Tapi Bu, teman-teman ada kok yang tetap sekolah.”
“Tidak. Ibu tetap tak akan mengijinkanmu ke sekolah, sampai asap ini hilang!”

Memang pantas ibu mengkhawatirkan kesehatanku. Sebab udara yang sudah berbaur asap begini, Ispa mengancam dimana-mana.

Dua minggu lagi adalah jadwal Ujian Nasional. Itulah kenapa teman-temanku dan beberapa guru masih nekat datang ke sekolah. Pak Indra, kepala sekolah kami meminta sebisa mungkin agar guru Mapel UN kelas dua belas tetap mengajar.

“Sudahlah. Lupakan ujian nasional. Kau masih bisa ikut UN tahun depan! Yang paling penting bagi kita adalah bertahan hidup di tengah kepungan asap ini.”
“Tapi, Bu…”
“Tidak. Pokoknya ibu tak akan membolehkanmu sekolah sebelum asap ini berlalu!”

Ibu benar, jangankan ke sekolah, bahkan hanya untuk keluar ke pasar saja, yang jaraknya hanya dua kilo, sepertinya sudah tidak mungkin. Padahal beras di rumah kami sudah nyaris habis. Belum lagi isi kulkas, sudah terkuras semua. Entah besok akan makan apa.

Kalau pun kami nekat pergi ke pasar, belum tentu juga ada yang jualan. Rasanya tak akan ada penjual yang rela sesak nafas, sekedar untuk dapat sedikit keuntungan dari dagangannya.
*****

Mama nekat! Melarangku ke luar rumah, tapi ia sendiri tak mau dicegah. “Sudah, kamu di rumah saja. Biar ibu yang pergi!”

Beras kami sudah benar-benar habis. Tak ada lagi yang bisa dimasak hari ini. Aku sudah maksa pada ibu, biar aku yang pergi. Tapi ia bersikeras. Ibu memang suka ngotot. Kalau sudah maunya, tak akan ada lagi yang bisa membantah. Termasuk almarhum Ayah.

Ibu memakai masker berlapis. Jilbab rapat, kaos kaki dan kaos tangan lengkap. Baru 10 meter ibu melalui pintu rumah, tubuhnya sudah hilang ditelan asap. Aku sudah tak bisa melihatnya lagi. Padahal masih jam tiga sore. Selama ini setiap ke pasar, ibu memang selalu jalan kaki. Begitu juga sore ini.

Sambil menunggu ibu, aku setel tivi. Beritanya tetap, tentang Asap yang melanda sejumlah kota di Sumatera dan Kalimantan. Aku pun berfikir, kenapa aku tidak hidup di Jawa saja, bebas asap.

“Assalamualaikum!” suara ibu mengangetkanku. Tetiba saja ia sudah berada di ruang depan, dengan sejumlah barang belanjaannya. Tampak beras dengan kantong sepuluh kiloan dipanggulnya. Tapi yang aku heran, tak ada sayur yang ia bawa. Ikan, tahu, tempe dan ayam pun tak ada. Malah ibu membimbit satu kresek besar yang berisi kaleng kaleng sarden dengan berbagai ukuran. “Tak ada yang jualan di pasar. Pasar kosong. Hanya Ko Ferdi yang tokonya masih buka. Itu pun tinggal ini aja adanya. Telur juga tak ada!”

Aku bantu ibu menurunkan belanjaan. Masker dibuka, ibu langsung batuk-batuk. Dalam waktu yang agak lama. Ia seperti tersedak. Aku cemas! Tapi setelah itu batuknya berhenti. Alhamdulillah.

Malam harinya ibu pun bisa tidur seperti biasa. Berarti tidak ada apa-apa, seperti yang banyak diceritakan tentang bahaya Ispa tersebab menghirup udara yang bercampur asap.
*****

Pagi tak lagi cerah kala matahari dhuha, kecerahannya terhalang asap. Siang semakin panas saat matahari zawal. Teriknya berpadu bersama gumpalan pekat asap. Petang menjelang ghurub, matahari sudah hilang duluan, jauh sebelum waktunya terbenam. Sinarnya semakin cepat ditelan asap.

Entah sudah minggu ke berapa, Jambi pekat dengan asap. Tapi yang aku ingat, ibu terakhir ke pasar empat hari yang lalu. Pagi ini batuknya tak berhenti. Hidungnya pun tersumbat. Badannya menggigil. Ia mengeluh sakit tenggorokan dan kepala.

Aku buka HP, aku googling. Iya, itu adalah tanda-tanda ISPA! Akhirnya asap setan ini benar-benar mengantarkan Ispa pada ibu.

Aku telpon layanan 112. Setengah jam menunggu, ambulan dengan sirene meraung-raung sudah tiba di depan rumah. Aku bimbing ibu memasuki mobil berwarna putih itu.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, rasa cemas terus mencengkamku. Aku marah. Tapi entah pada siapa kemarahan ini akan aku tumpahkan.

Pokoknya kalau ada apa-apa dengan ibu, aku akan mendoakan mereka yang sengaja membakar atau membiarkan pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, agar segera mati!

Biar mereka tidak terus-menerus melakukan kezaliman semacam ini. (Abrar Rifai).

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: