Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Menulis tanpa paksaan

Seorang tokoh maksa saya nulis tentang satu ormas yang berafiliasi ke Salafi. Saya tidak mau. Kemudian yang bersangkutan dengan keras ngatain saya wahhabi!

Lah memang saya ini siapa, beliau siapa, kok mau maksa saya. Saya ini menulis suka-suka. Tidak bisa diarahkan untuk menulis apa yang saya tidak mau. Saya pun tidak bisa dilarang untuk nulis sesuatu yang saya mau tulis.

Dulu saya nulis Luna Maya dan Ariel Peterpen. Kemudian seorang teman di Amerika berujar, “Lupakan Luna Maya. Mari kita rebut Palestina!”

Beberapa hari yang lalu saya nulis Vicky Prasetyo. Seorang teman berujar, “Wadaw! Ngapain membahas Vicky Prasetyo?!”

Awal Ahok memperagakan sikap permusuhannya kepada ummat, banyak yang maksa saya nulis. Saya tidak mau, sampai akhirnya meledak Al Maidah 51.

Tentang KPK, ada puluhan tulisan saya yang menyerang lembaga anti riswah tersebut. Lantas banyak yang menyebut saya pro koruptor atau tidak bisa move on dari kasus LHI.

Rame-rame film yang konon didukung Ketua Umum PBNU, banyak juga yang meminta saya untuk berpendapat. Saya tidak mau. Kenapa? Ya, pokoknya tidak mau. 

Bahkan terkait film Hayya pun saya belum mau nulis sampai sekarang. Padahal saya sudah nonton. Beda dengan dulu KMGP dan 212. Jauh sebelum filmnya tayang, sudah banyak saya tulis.

Sehari kadang saya bisa update status panjang, dua hingga empat kali. Maka seorang kawan berujar, “Ente ini rajin juga ya nulis, kapan ngurus pondoknya?” Lah, memang nulis itu bisa menyita wakturya?

Pengalaman saya, nulis itu santai saja. Nulis di sela-sela kegiatan: saat jeda makan, saat berpindah dari satu kelas ke kelas berikutnya, saat rehat, saat antri kamar mandi, antri teller bank dan bahkan saat nyetir dan tiba di lampu merah.

Kita bersosial media ini dibuat bahagia saja. Dengan tetap berupaya agar apa yang kita tulis, atau pun foto dan video yang diposting adalah kemanfaatan, bukan kesia-siaan.

Maka, saya bisa menulis apa saja. Mulai dari politik yang keras hingga fiksi yang jenaka. Dari persoalan sosial hingga kerumitan cinta. Tapi untuk politik, saat ini saya benar-benar berupaya menahan jari untuk tidak menulisnya.
Saya menulis bukan untuk menyenangkan satu dua orang atau pun kelompok. Pun bukan untuk menuai benci dari satu dua orang atau kelompok tertentu. Perkara ada yang suka, itu sudah nasib tulisannya. Pun ketika banyak yang benci, biarkan saja.

Saya nulis poligami, itu dicaci hingga diblokir emak-emak. Memang sudah sewajarnya. Tapi saya tersenyum, karena bapak-bapak saya lihat bahagia. 

Orang-orang PKS dan bahkan ustadz-ustadznya banyak yang meng-unfollow, unfriend hingga memblokir saya, tersebab saya terlalu banyak bicara tentang konflik yang melanda partai Islam terbesar tersebut.

Orang-orang NU yang saya persoalkan dukungannya kepada Jokowi, pun banyak yang marah-marah. Tapi tak banyak yang memblokir.

Di akun yang lama ada ribuan tulisan panjang yang tidak tersimpan offline. “Kenapa tidak dibukukan saja?” tanya seorang teman. Nah, ini masalahnya, saya itu nulis ya nulis saja. Kalau pun ada beberapa buku yang terbit, mulai antologi sampai solo, itu karena kebaikan orang lain saja, yang sudi mengumpulkan tulisan saya, kemudian menerbitkannya.

Kembali kepada urusan paksa memaksa nulis, untuk saat ini sepertinya hanya tiga orang yang sanggup melakukannya pada saya: Ibu saya dan dua orang guru.  (Abrar Rifai).

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: