Sugiati yang Kaya Hati

Oleh: Indah Andriani

Ada 3 perempuan di dalam foto ini. Saya tidak akan menceritakan diri saya atau adik saya yang cantiknya tidak kalah dengan kakaknya. Saya ingin bercerita sedikit tentang almarhumah ibu saya, Sugiati.

Beberapa Sabtu saya lewati tanpa menuliskan tentang perempuan. Bukan karena saya tidak punya teman perempuan. Namun, saya ingin tulisan pertama saya tentang perempuan ya bercerita tentang ibu. Tapi, saat saya sudah mulai menilulis, dada ini sesak. Sesak akan kerinduan.

Seperti namanya, Sugiati, beliau begitu sugih ati (kaya hati). Luas sekali hatinya, penuh kesabaran. Satu hal yang sampai saat ini saya masih tertatih untuk bersabar seperti ibu bersabar atas sesuatu.

Ketika ibu divonis sakit kanker usus besar oleh dokter, tahun 2009. Banyak pengobatan medis dan nonmedia yang beliau jalani. Pulang dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya. Hingga akhirnya beliau meminta dirawat di rumah dengan mendatangkan petugas nonmedis (alternatif herbal).

Sekian banyak yang beliau lalui, tak pernah sedikit pun “ngersulo”. Beliau tak mau merepotkan anak-anaknya. Kalau saya pulang dari sekolah, usai cuci tangan, saya langsung ke kamar ibu. Saya pijitin kakinya, beliau selalu bilang, _”Sampeyan pegel, Nak. Wes dielus-elus ae.” (Kamu pegal, Nak. Cukup dielus-elus saja).

Ketika beliau buang air besar, dan memanggil saya untuk membersihkan kotorannya, beliau selalu merasa malu dan bilang, “In, ambune gak enak, ojok ambekan. Gak popo ta?” (In, baunya tidak enak, jangan bernafas. Gak apa-apa ya?)

Membuat hati saya terenyuh.

Pernah ada peristiwa yang membuat saya menangis. Ketika beliau masih bisa berjalan tertatih. Tanpa sepengetahuan saya, beliau ke kamar mandi dan ke kamar pakaian untuk memakai pakaian dalam.

Karena di kamar pakaian tidak ada tempat duduknya, beliau menggunakannya sambil setengak jongkok. Tiba-tiba terdengar suara ‘bruk’, beliau tersungkur.

Ya Allah… saya lari dan saya tangisi. Eh beliau dengan santai menjawab, “Meneh berarti lungguh kasur ae yo nek ngawe katok, yo, In.” (Lain waktu berarti duduk di kasur saja saat menggunakan pakaian dalam ya, In).

Beliau tidak marah, hanya tersenyum.

Ah, ini hanya secuil kesabaran dan keridhoan beliau atas takdirnya.

Sekarang saya paham, kenapa almarhum ayah begitu hormat kepada ibu. Saya ingat kata-kata ayah ketika mengantar ibu ke liang lahat. “Sugiati niki, istri kulo seng sae, sabar. Lulusan SD seng isok ndadekno anake sarjana kabeh. Isok dampingi bojone tekan endi-endi. Kulo ridho.” (Sugiati ini istri yang baik, yang sabar. Lulusan sekolah dasar yang bisa menjadikan semua anaknya sarjana. Bisa mendampingi suami sampai ke mana-mana. Saya ridho.)

Satu hal yang saya merasa kurang, waktu terasa begitu pendek untuk merasakan kasih sayang beliau.