
Oleh: Sitie Zumaroh
Kami hidup dalam budaya Jawa yang mengedepankan kebersamaan, kalau ada istilah mangan ora mangan asal ngumpul memang betul sekali, banyak kebersamaan yang pastinya harus diramaikan dengan makan bersama.
Bulan-bulan mendekati Ramadhan adalah bulan dengan makanan melimpah. Menurut sejarah acara sadran adalah acara mengenang arwah para leluhur bagi penduduk yang waktu itu masih beragama Hindu dan Budha. Islam datang dan membaur di negeri ini di pulau Jawa dibawa walisanga secara santun dan tetap melestarikan budaya leluhur tersebut hanya acaranya yang berbeda.
Sadran di kampung kami adalah acara tahlil di makam para leluhur atau pepunden dan dilanjutkan acara makan bersama di tempat yang telah ditentukan, biasanya dilakukan antara bulan rajab dan sya’ban dalam pasaran yang sudah disepakati, misalnya saja Kamis atau Jum’at antara pon, kliwon, pahing, wage, legi. Sebagai gambaran kampung saya sadranan dilaksanakan Jum’at pahing atau minggu depan bulan Rajab. Seandainya saja tidak ada Jum’at pahing di bulan Rajab maka akan diganti Jum’at wage bulan Rajab.
Sadran di budaya kami dimaknai dengan acara membuat aneka hidangan baik itu makanan berat berupa nasi beserta lauk pauk juga makanan ringan sebagai penyertanya. Tradisi kami adalah memberi makanan komplit kepada keluarga yang lebih sepuh, adik kepada kakak, anak kepada orangtuanya, ponakan kepada budhe dan pakdhe, dan seterusnya, semampunya disesuaikan dengan kantong masing-masing.
Hari ini kami berkumpul di rumah mertua. Makan bersama sekaligus ada ponakan yang ultah jadi makanan ada nasi kuningnya.
Terkait
No Other Land: Fakta Mengejutkan di Balik Dokumenter yang Mengguncang Dunia
No Other Land: Dari Ditolak hingga ke Panggung Oscar
Ramadhan Ala Gresik-an (Bagian 3-habis)