
Oleh: Heri Cahyo
Bagi yang kelahiran sebelum tahun 90-an, terutama yang masa kecil dan remajanya di Jawa Timur, pasti tahu dengan makanan khas R-U-J-A-K atau kalau bahasa walikan di Malang jadi K-A-J-U-R.
Iya, rujak di Jawa Timur memiliki banyak varian. Rujak petis, rujak gobet, rujak cingur, rujak buah, rujak serut, dan lain sebagainya.
Tiap daerah juga memiliki rujak yang berbeda. Rujak di daearah Malang tempat kelahiran saya berbeda bumbu, konten, dan penyajiannya dengan rujak di tempat kelahiran papa saya, Bondowoso.
Tetapi kali ini, saya hanya akan membahas sebuah varian rujak yang paling banyak digemari dan paling banyak dinikmati oleh anak-anak remaja yang lahir sebelum tahun 90-an.
Apa itu?
Rujak Manis!
Ritual makan rujak manis ini bisa dikatakan sangat sering sekali dilakukan. Paling tidak seminggu atau dua minggu sekali! Akan tetapi, jika musim buah tiba, maka intensitas makan rujak ini semakin tinggi.
Kenapa aktivitas memakan rujak atau yang sering disebut rujakan ini bisa begitu tinggi dan populer di anak-anak dan remaja jadoel?
Tak lain karena untuk rujakan ini, kita bisa melakukan dan membuat beragam versi. Mulai versi ideal dan lengkap hingga disebut pesta rujak. Sedangkan pada waktu lain bisa dibuat dalam versi yang paling sederhana jika sangat menginginkan makan rujak (ngidam), tetapi bahan-bahan yang dibutuhkan terbatas.
Sebuah rujak buah yang ideal, kalau di tempat saya, bumbunya terdiri dari cabe rawit, asam Jawa, dan gula merah. Beberapa orang ada yang suka diberi petis, kacang tanah yang digoreng, dan garam. Bahkan ada beberapa orang menambahkannya bawang putih goreng agar semakin sedap.
Cara membuat bumbu rujak manis dan cara penyajiannya pun bermacam-macam. Ada yang semua bumbu tadi-terutama yang tidak memakai petis atau bawang goreng yang disebut orang Jawa sebagai seger waras. Jadi bahannya tidak perlu diolah dulu saat pembuatannya.
Cabainya masih segar, asam jawanya juga segar, kecuali kacang gorengnya, lalu digoreng! Lainnya tinggal diulek, diberi air secukupnya, dan siap disajikan. Ada juga versi menggoreng semua bumbu, kemudian dihaluskan, atau diulek, diberi air, kemudian direbus.
Salah satu keuntungan versi ini, bumbunya lebih awet jika ngerujak dalam volume yang banyak untuk beberapa kali. Rujak jenis ini tahan lama. Cukup dipanaskan sebelum disimpan, nanti dinikmati lagi pada waktu yang lain.
Baca Juga : Puasa Sebenarnya Agar Ramadhan Setiap Bulan
Selain bumbu yang bervariasi, isi rujak juga bervariasi. Kalau variasi lengkap; tahu goreng yang gembos, dan beraneka buah yang biasanya digunakan untuk rujak. Pepaya mengkal, timun muda, mangga muda atau mengkal, kedondong, bengkoang, jambu air, jambu mete, apel, semangka, atau melon.
Dalam penyajiannya bisa juga ditambah dengan kerupuk. Kerupuk tepung tapioka, kerupuk rambak, sampai kerupuk khas Kediri yang disebut krupuk tayamum karena menggorengnya tanpa minyak tapi dengan pasir.
Kalau bahan, bumbu, atau isi rujak tidak lengkap, apakah tidak bisa rujakan?
Oh tidak juga!
Misalnya di depan rumah terlihat mangga yang sudah enak untuk dirujak, sementara tidak ada buah lainnya, ya sudah! Gampang saja, ada banyak alternatif pilihan untuk melakukan rujakan. Untuk bumbunya ya yang penting ada garam dan cabe rawit, digerus di atas cobek.
Kalau ada uang lebih-karena saat kecil uang sakunya sangat terbatas-maka kita membeli kecap saset yang harganya sekitar 5 rupiah.
Ya sudah, jadi seperti itu; rujakan.
Kita bisa rujakan dengan bumbu garam, Lombok, dan kecap serta buah mangga atau timun saja. Bahkan bengkoang saja tidak apa-apa. Karena untuk rujakan tidak harus menunggu semua bahan ada dan harus lengkap. Dengan keterbatasan itu sudah bisa menjadi kenikmatan tersendiri.
Saking populernya rujakan ini bagi generasi 90-an ke bawah, maka aktivitas rujakan masih dilestarikan hingga saya masuk kuliah. Di jurusan saya, Bahasa Inggris, sampai ada istilahnya Rujak Party. Rujak Party dilakukan sebulan sekali sambil diskusi, dan bincang-bincang santai di taman kampus.
Ternyata, budaya ini tidak hanya dilakukan di kampus dalam negeri. Banyak teman-teman seangkatan, ketika di luar negeri dan ketemuan biasanya juga melakukan rujakan. Tentu saja dengan bumbu dan buah yang ada.
Inilah istimewanya aktivitas rujakan. Dengan bumbu dan buah yang ada, kita bisa tetap enjoy menikmati kebersamaan bersama teman.
Dalam aktivitas rujakan ini memang terkandung filosofi yang keren:
Apapun yang ada harus kita syukuri! Apapun yang ada kita bisa jalan! Dan yang terpenting, apapun yang ada, kita bisa tetap bahagia karena masih bisa rujakan karena masih diberikan kesehatan.
Nah, begitu juga dengan teman-teman yang mulai menekuni menulis. Biasanya, mereka yang nggak menulis karena tidak pernah rujakan!
Atau kalaupun rujakan, sukanya rujakan versi bumbunya lengkap dengan isi yang lengkap pula. Sehingga ketika menulis pun, dia harus mempunyai berbagai macam kriteria, seperti harus paham tata bahasa, harus memulai dengan referensi yang banyak, harus memulai di tempat yang nyaman, harus tersedia fasilitas ini itu, dan lain sebagainya, dan seterusnya.
Akhirnya apa?
Jika semua ke-ideal-an yang dia inginkan dalam menulis tidak terpenuhi, maka akan banyak sekali alasan baginya untuk tidak menulis:
Karena dia akan merasa kekurangan referensi, kekurangan kemampuan dalam menyusun kata, kurang mampu dalam tata Bahasa, dan kurang mampu untuk mengungkapkan pikiran, dan seterusnya, dan seterusnya.
Padahal sih, kalau menurut saya, itu hanya alasan saja karena tidak pernah rujakan dengan bumbu dan bahan yang ala kadarnya!
Termasuk ketika saya nulis ini pun, sebenarnya sedang malas ngetik dan tengah santai melihat hujan di bulan Juni. Maka saya “menuliskannya” dengan Google Voice to Text, maka jadilah tulisan ini!
Masih mau cari alasan lagi?
Lawang, 07 Juni 2020 – menjelang Maghrib.
thankyou for your post visit us to see article about anything at https://www.unair.ac.id/