Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Macam Betol!

Macam Betol! by orangramai

“Anak-anak ITS tidak usah bicara agama terlalu jauh, sebab kami yang di IAIN tentu lebih tahu tentang agama!”

Adakah di antara teman-teman yang pernah mendengar sergahan di atas? Seingat saya, itu muncul pada pertengah tahun 90-an. Dimana ketika itu, ada sebagian mahasiswa ITS yang tampil lebih islami dari sebagian mahasiswa IAIN.

Pun, semangat keislaman sebagian anak-anak ITS begitu bara. Sementara anak-anak IAIN seperti santai-santai saja, tetap shalat lima waktu dan mengerjakan tuntutan-tuntutan ibadah mahdhah lainnya.

Seorang teman saya berujar, “Arek IAIN memang banyak yang pacaran, tapi mereka tahu batasnya, sehingga tidak sampai hamil. Lha nek arek ITS, liyane arek sing sobo masjid, iki nek wes pacaran langsung bablas angine!”

ITS dan IAIN Sunan Ampel Surabaya adalah sampel saja, dari keseluruhan perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi agama seluruh Indonesia.

Tahun 90-an, adalah masa-masa subur pertumbuhan kajian-kajian keislaman di berbagai PTN. Mereka adalah anak-anak yang cerdas, rajin belajar, rajin ngaji, rajin berkegiatan intra maupun extra kampus.

Komunitas Tarbiyah mereka menamakan diri, kelak mereka bermemorfosa menjadi PKS.

Sementara ada sebagian kecil yang juga aktif ikut pengajian (lain) di kampus, bukan bagian dari komunitas Tarbiyah dan akhirnya juga tidak ikut PKS. Nah, mereka ini adalah HTI. Biasanya identitas mereka dulu adalah buletin Al Islam. Eh, benar namanya Al Islam, ya? Mohon koreksi kalau salah. Sebab saya lupa-lupa ingat.

Salafi kemana?

Salafi ketika itu entah masih di mana, bau-baunya aja belum ada. Salafi mulai merambah kampus di Indonesia persisnya sejak kapan, saya sudah gak mengikuti. Tapi yang pasti, kehadiran Salafi lumayan sukses meminggirkan PKS dan HTI.

Ngaji baca berbagai kitab (terutama hadis) yang dilakukan Salafi, ternyata pada perkembangannya lebih diminati dari ngaji model tanda-tanda anak panah yang ditulis di papan. Apalagi yang nulis sebagian besarnya jelek tulisan arabnya. Eh, tulisan saya pun jelek. 🙂

Sebenarnya masing-masing dengan kekhasannya adalah sinergi luar biasa dalam tubuh penggiat Islam. Masing-masing mempunyai celah salah dan kurang. Tapi potensi kebaikan dan kebenaran tentu lebih banyak.

Pesantren yang menjadi basis keislaman yang sesungguhnya, toh harus diakui tidak bisa merambah kampus-kampus, perkantoran dan berbagai dunia lainnya.

Sehingga tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau pesantren tersebut, wajar kalau kemudian dipacul, disirami dan disuburkan kelompok-kelompok lain.

Bahwa kemudian belakangan ini banyak anak-anak pesantren yang sudah kuliah, itu adalah kenyataan yang bagus. Tidak lagi sekedar IAIN atau kampus agama, tapi sudah bertebaran di berbagai perguruan tinggi negeri, dalam dan luar negeri.

Sebaliknya orang-orang yang dulu aktif ngaji di kampus, sekarang sudah banyak yang mendirikan pesantren. Tentu dengan corak yang berbeda dari kebanyakan pesantren salaf yang selama ini identik dengan NU.

Pesantren-pesantren yang didirikan mantan aktivis kampus itu kebanyakan atau hampir seluruhnya terintegrasi dengan sekolah formal. Ditambah lagi, mereka pun membuat kurikulum hafalan Qur’an yang harus dituntaskan pada masing-masing jenjang, sesuai dengan bilangan juz yang sudah ditentukan.

Baca Juga : Menjaga Indonesia di Perbatasan Negeri

Menghadapi fenomena tersebut, pesantren-pesantren salaf pun kemudian banyak yang membuat sekolah formal. Atau setidaknya menganut metode Persamaan, paket ABC, Muadalah, Wajar Dikdas dan atau sebutan lainnya yang merujuk pada formalisasi pendidikan pesantren.

Oiya, selain pesantren, komunitas Tarbiyah yang telah lebur di PKS itu, juga menjamurkan sekolah-sekolah Islam terpadu yang tergabung dalam JSIT: Jaringan Sekolah Islam Terpadu.

SIT yang diinisiasi dan dikembangkan oleh orang-orang PKS ini belakangan banyak menginspirasi kelompok-kelompok lain untuk mendirikan sekolah serupa, walau tidak secara langsung berada dalam jaringan JSIT.

Tapi selain agama dan pendidikan, rupanya rivalitas ini merambah ranah politik. Polarisasi dalam politik ini juga menarik dibincang, tapi yang pasti rivalitas itu tetap dalam bingkai negara bangsa yang bentuknya sudah dinyatakan final dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Sementara HTI tidak mau melibatkan diri dalam denyut nadi bangsa untuk berlomba mewujudkan Indonesia terus bertumbuh menjadi negara adil, kuat, sejahtera dan berdaulat.

HTI hanya terus berkutat pada penyampaian ide Khilafah yang tak pernah bisa mereka jelaskan secara rasional, seperti apa khilafah itu harus dimulai.

Itulah kenapa mereka tidak diterima dan bahkan dimusuhi anak bangsa yang lain. Bukan tentang khilafahnya, tapi lebih karena mereka tidak mau semrawung dengan kerja-kerja kebangsaan anak-anak Ibu Pertiwi yang lain. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: