
Oleh : Ratu Marfuah
Ternyata benar, berharap kepada manusia adalah hal yang paling menyaktikan. Walaupun harapan itu timbul karena sudah diberikan harapan. 9 tahun lalu, kala hidup terasa sangat tak menyenangkan, tersebab impian-impian hancur satu per satu dalam jarak yang berdekatan. Tapi saya masih punya satu harapan yang membuat bertahan hidup dan masih tetap waras.
Sepertinya perjalanan hidup ingin memberitahukan, bahwa tidak boleh berharap kepada manusia. Berharaplah hanya kepada-Nya, yang menciptakan manusia. Harapan itu pun hancur, tepatnya dihancurkan olehnya. Ia yang saya banggakan di depan yang lain, yang padanya saya percaya akan membawa saya keluar dari situasi yang tak menyenangkan. Ternyata, dengan tanpa bersalah justru akan menikah dengan yang lain. Entah selama itu saya dianggapnya sebagai apa, padahal dia yang meminta menunggu.
Senja itu, di saat kabar itu saya terima, jangan ditanya seperti apa remuk redamnya diri, hingga air mata menderas tanpa diperintah. Saya begitu lara, padahal sedang berjuang membangun diri. Kehancuran itu kembali dialami. Keluluhlantakan yang pada akhirnya membuat saya bertanya tentang keadilan Gusti. Ya, saya merasa tidak diperlakukan secara adil, padahal selama ini sudah berusaha menjadi anak dan hamba yang baik, yang tak melawan orang tua dan selalu rajin beribadah, pun tak melakukan hal-hal yang dilarangnya. Selama ini pun melarang diri dari yang namanya pacaran, tapi kenapa di saat ingin menikah malah jadi tragis?
Di sepertiga malam, saya terbangun dengan mata sembab, karena semalaman menangis. Usai salat malam, saya curhat kepada-Nya. Mungkin lebih tepatnya protes dan menuntut-Nya karena ketidakterdugaan kejadian ini. Kejadian yang justru terjadi setelah beberapa kali beristikharah. Jelang pagi itu, saya membiarkan diri menangis dan meratap seratap-ratapnya, karena besok paginya saya melarang diri menangis dan bersedih. Karena kelelahan, saya tertidur.
Baca Juga : Perempuan di Tanah Bencana
Esok paginya, mungkin Gusti gak rela diprotes habis-habisan, sehingga menghadirkan secuil ingatan. Ingatan yang justru membuat saya protes keras, agar tak lagi diberikan mimpi. Mimpi yang awalnya menyenangkan, tapi jutsru berakhir menyakitkan.
Kalau tak salah ingat, dua tahun sebelumnya, mimpi itu bermula. Bermimpi menuju bukit di jelang senja. Di sana menemukannya, sesosok lelaki yang tak tahu siapa, tapi terasa sudah lama mengenalnya. Saya memeluknya dari belakang, menumpahkan segala lara yang telah menumpuk di hati. Tangis menderas. Kepala menyentuh tengkuknya. Memeluknya ternyata memudarkan segala lara, mengobati luka, dan menghentikan tangis. Ia mengobati banyak hal, walau dengan diamnya.
Beberapa waktu kemudian, ternyata mimpi itu berlanjut. Kami kembali bertemu dalam mimpi. Rasanya indah. Bagai diterjang jutaan musim semi. Di mimpi itu, kami saling jatuh cinta. Saling berbagi rasa. Lama-kelamaan, saya benar-benar jatuh cinta padanya, pada lelaki yang ditemui di mimpi. Mungkin ini terdengar sedikit gila, tapi itulah yang dirasa. Rasa yang aneh dan tak masuk akal.
Kejelasan mimpi itu, semakin nyata. Di dalam mimpi, kami bertemu. Tak seperti mimpi-mimpi sebelumnya, yang hanya melihat punggungnya. Kali itu, saya melihat jelas wajahnya secara detail. Ia mendatangi, mengulurkan tangan, dan menyebutkan nama. Lengkung senyum selalu nampak di wajahnya. Ia Bahagia karena pertemuan, pun begitu juga dengan saya.
Selang beberapa hari kemudian, di alam nyata kami dipertemukan. Nama, wajah, dan potongan rambutnya, sama seperti yang saya lihat di mimpi. Gusti…napas saya serasa terhenti ketika jantung ini begitu kuatnya berdetak.
Yang terjadi selanjutnya, sama seperti yang sudah digambarkan di mimpi. Ya, mimpi yang datang, seperti menjelaskan gambaran yang akan terjadi. Secara status, kami tak berpacaran. Tak saling bertukar nomor ponsel, berkabar-kabaran, bersayang-sayangan, bahkan domisili pun berjauhan. Tapi takdir selalu bisa mempertemukan, sehingga kami bersepakat membawa rasa ini ke muara yang jelas.
Karena ingin memberikan sesuatu yang beda saat menikah nanti, maka saya mulai menulis novel. Based on true story, tentang perjalanan cinta yang kami jalani. Outlinenya sudah dibuat. Bab-babnya pun sudah mulai ditulis. Kalau tak salah ingat, novelnya diberi judul cinta dari mimpi. Sudah membayangkan, ia akan sangat senang menerima novelnya sebagai hadiah pernikahan. Saya jadi senyum-senyum sendiri.
Saya masih menunggunya untuk mewujudkan kesepakatan kami, tapi dia sepertinya dia tak paham ditunggu. Atas saran seseorang, saya melakukan istikharah. Rutin beristikharah, tapi jawaban itu belum juga datang, sama seperti dia yang belum juga datang. Saya masih terus melaksanakannya, hingga di suatu malam, saya bermimpi bertemu dengannya.
Ia datang dengan wajah tanpa ekspresi, padahal wajah saya menyiratkan bahagia yang sangat. Di tangannya, tergenggam sepucuk kertas. Tanpa kata, kertas itu diserahkan kepada saya. Langsung saja dibuka. Ternyata kertas undangan pernikahan. Namanya tertulis indah di sana, tapi hanya namanya saja tanpa disertai nama saya. Bukankah jika ingin menikah, undangannya harus tertulis dua nama? Kebingungan itu, akhirnya membuat saya terbangun.
Dalam keterjagaan itu, saya masih mencoba menafsirkan mimpinya. Senang sendiri, karena menyangka kami akan segera menikah. Saya mempercayai mimpi itu akan menjadi nyata, karena mimpi-mimpi sebelumnya tentangnya selalu saja menjadi nyata.
Kenyataan yang terjadi, membuat saya merasa dikhianati. Bukan hanya olehnya, tapi juga oleh mimpi-mimpi malam yang menyinggahi, pun oleh Gusti yang menghadirkan mimpi-mimpi itu. Tapi benarkan mimpi-mimpi itu dari Gusti, atau dari kesadaran ruh? Saya tak tahu.
Saya kembali hancur. Satu-satunya harapan yang dijadikan pegangan nyatanya hancur. Kehancuran yang semakin menyakitkan saat mendengarkan mengucapkan sebaris kalimat perbandingan, “dia lebih baik daripada kamu. Lebih cantik. Kerjaannya lebih baik. Bukan kamu yang katanya pintar, lulusan Teknik kimia tapi kerjannya gak jelas.” Hati begitu lara. Kelaraan yang membuat saya berucap, “kamu bisa mendapatkan yang lebih cantik daripada saya, yang kerjaannya lebih baik dari saya, tapi kamu tak akan mendapatkan yang lebih keren daripada saya.”
Konsekuensi atas ucapan itu, membuat saya meminta kepada Gusti untuk membimbing saya menjadi manusia keren. Entah keren yang seperti apa, saya pun tak tahu. Mungkin karena sudah dikecewakan manusia, saya jadi meminta kepada Gusti, walaupun beberapa hari sebelumnya mempertanyakan keadilan-Nya. Ini sungguh lucu.
Saya mulai berusaha memperbaiki diri, karena merasa ada kesalahan dalam diri yang membuat hidup menjadi susah dan dihampiri banyak kegagalan. Padahal sejak kecil sampai lulus kuliah, lancar-lancar saja. Perbaikan yang di titik awalnya dipertemukan dengan sebuah ayat : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Al-Baqarah 216)
Ayat itu begitu menampar diri, hingga saya memohon ampunan-Nya. Lalu saya mulai berusaha berpasrah atas takdir selanjutnya. Ternyata, permohonan itu terkabul. Gusti mempertemukan dengan seseorang yang membantu saya untuk semakin memperbaiki diri. Apalagi suasananya pas, saat Ramadhan, saat jiwa digembleng di kawah candra dimuka.
Beberapa bulan setelahnya, kabar tentangnya datang. Mereka bercerai di pernikahan yang seumur jagung. Kabarnya, istirnya yang cantik, yang dibanggakannya itu, ternyata prilakunya tak cantik. Seharusnya saya menertawakannya, tapi ternyata air mata menitik. Rasa kasih muncul atas ketragisan kisah hidupnya.
Sekarang, sembilan tahun berlalu dari kejadian itu, saya masih sendiri. Bukannya tak ingin berdua, tapi mungkin Gusti masih menyendirikan diri agar bisa belajar untuk menjadi manusia keren, menjadi istri yang bukan hanya istri, dan menjadi ibu yang bukan hanya ibu. Kabar tentangnya, tak lagi saya tahu dan sudah tak ingin tahu.
Untukmu, yang sudah menorehkan luka yang cukup dalam. Terima kasih banyak, karena ternyata luka itu menjadi jalan bagi lahirnya keinginan untuk memperbaiki diri, untuk menjadi versi diri yang semakin baik. Semoga sudah berbahagia dan senantiasa berbahagia, di belahan bumi mana pun kamu berada.
Semoga semua mahluk penghuni semesta senantiasa berbahagia, dan hidup dalam keselarasan serta keseimbangan.
Terkait
No Other Land: Fakta Mengejutkan di Balik Dokumenter yang Mengguncang Dunia
No Other Land: Dari Ditolak hingga ke Panggung Oscar
Menemukan Keseimbangan Lewat Digital Detox