Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Puasa dan Kesehatan Mental

Puasa dan Kesehatan Mental by orangramai

Oleh : Barotun Mabaroh

Puasa sering kali dimaknai dengan pendekatan ta’abbud dan fisik saja. Padahal, puasa khususnya saat Ramadhan, berfungsi sebagai masa orientasi untuk kesehatan mental setiap Muslim. 

Menurut Mushtafa Fahmi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mahmud Mahmud dalam kitabnya ‘Ilm al-Nafs al-Ma’ashir fi Dhaw’i al-Islam, kesehatan mental dapat dikategorisasikan menjadi dua pola utama yaitu pola salaby (negatif) dan pola ijaby (positif).

Mushtafa Fahmi membatasi pola salaby dengan makna kesehatan mental, yakni terhindarnya seseorang dari gejala neurosis dan psikosis. Sedangkan pola ijaby menggambarkan kesehatan mental sebagai kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Secara empirik, hingga saat ini, pola ijaby memiliki cakupan yang lebih umum dan luas daripada pola salaby.

Secara lebih rinci, pola kesehatan mental menurut Hanna Djumhana Bastaman seperti yang dikutip dalam buku Nuansa-nuansa Psikologi Islam karya Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir terdiri dari empat yakni:

1. Pola simtomatis

2. Pola pengembangan diri

3. Pola pengembangan potensi

4. Pola agama

Hanna Djumhana memberikan deskripsi atau tanda dari mental yang sehat melalui empat pola ini. Pertama, seseorang yang terhindar dari gejala, keluhan, dan gangguan mental baik berupa neurosis maupun psikosis adalah orang yang bermental sehat berdasarkan neraca ukur dari pola simtomatis. Agaknya perbedaan antara neurosis maupun psikosis di sini dapat dipahami dengan ta’bir pernyataan dari WF. Marawis. Gangguan psikotik adalah gangguan yang diiringi dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality) seperti waham, halusinasi, dan perilaku yang kacau. Sedangkan gangguan neurotik ditandai dengan kecemasan yang dialami atau dipersepsikan secara langsung, tapi tetap dapat diubah dengan mekanisme pembelaan atau pertahanan diri (self defense). 

Kedua, orang yang sehat mental ditinjau dari pola kedua adalah mereka yangg mampu menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya tanpa kehilangan harga diri dan tanpa mengganggu hak-hak orang lain.

Ketiga, orang bermental sehat adalah orang yang mampu memfungsikan kualitas khas insani (human qualities) secara maksimal, sehingga ia dapat memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Keempat, mental yang sehat juga ditandai dengan kemampuan setiap orang untuk melaksanakan ajaran agama dengan benar dan baik berlandaskan keimanan dan ketakwaan. 

Kembali pada pembahasan mengenai fungsi Ramadhan  sebagai masa orientasi untuk kesehatan mental setiap muslim. Dalam kitab Al Tadzhiib karya Dr. Musthafa Dib Al-Bugha disebutkan bahwa kewajiban dalam menjalankan puasa terdiri dari: niat dan mencegah dari makan, minum, jima’, dan muntah dengan sengaja. Tetapi, banyak ulama menganjurkan untuk dapat menahan amarah, meski kalaupun kita tak dapat menahan amarah, tak berarti puasa kita batal. 

Baca Juga : Serunai Batang Padi dan Burung Punai

Menanggapi anjuran mayoritas ulama ini, maka sesungguhnya puasa dengan menahan amarah merupakan bentuk dari mekanisme pembelaan atau pertahanan diri (self defense) agar dapat memiliki mental sehat yang terbebas dari simtom neurosis. Sedangkan untuk Muslim dengan gangguan psikosis secara otomatis tidak dibebankan dengan kewajiban puasa ini.

Lalu, apakah berarti Islam tidak siap memberikan solusi untuk pengidap mental psikosomatik? Tentu bukan demikian, Islam itu solutif, tapi dalam kasus psikosomatik tidak ditangani dalam bentuk kewajiban berpuasa.

Puasa tanpa amarah juga memupuk kesehatan mental setiap Muslim, karena mereka dituntut dapat menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Inilah hakikatnya mengapa sekalipun tak membatalkan puasa, meluapkan amarah apalagi saat puasa dapat menjadi tanda dari kualitas Muslim yang belum sehat ditinjau dari pola mental pengembangan dirinya.  

Serangkaian ibadah Ramadhan mejadikan Muslim bermental sehat karena membuka panggung fungsi kualitas khas insani (human qualities)nya. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir menjabarkan beberapa di antara kualitas khas insani seorang Muslim yaitu produktivitas, kreativitas, kecerdasan, tanggung jawab, dan kepedulian.

Produktifitas dapatberupa membiasakan diri produktif dalam membaca Al-Qur’an. Tolak ukur produktif dalam membaca Al-Qur’an tentu bukan semata kuantitas tapi juga kualitas. Secara kuantitas, jika biasanya kita membaca satu juz per hari dalam durasi umumnya 30­-45 menit atau 3,12 % dari total 1440 menit (24 jam dalam sehari), maka selama Ramadhan paling tidak bisa mencapai 5% atau lebih dari jumlah menit yang dianugerahkan setiap hari. 

Ramadhan meningkatkan kesehatan mental Muslim melalui beragam kreativitas. Di luar ibadah mahdhah, mempersiapkan sajian kue lebaran juga merupakan ekspresi kreativitas.

Sedangkan penunaian zakat diri, jelas menyehatkan mental karena meneguhkan rasa kepedulian serta tanggung jawab setiap Muslim. Mengutip pernyataan Huebner dalam bukunya Life Satisfaction in Children and Youth, mental yang sehat dengan kepedulian dan tanggung jawab tinggi mampu menciptakan kepuasaan dan kesejahteraan diri karena dapat berguna bagi orang lain dan pastinya diri sendiri.

Pola mental sehat karena mampu untuk melaksanakan syariat puasa dengan benar dan baik berlandaskan keimanan dan ketakwaan, adalah tujuan utama dari puasa Ramadan. Tak ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana Allah melimpahkan kesehatan mental pola ini kepada setiap hambanya. Indikator mental sehat dalam pola keempat ini bisa berwujud ketenangan hati, keluhuran budi pekerti, skill motivasi dan kreasi, dan empati terhadap manusia serta alam yang mengitari. 

Jika benar semua yang digembleng selama Ramadan adalah bermanfaat untuk diri pribadi dan orang lain, maka mengapa di Syawal seringkali semua seperti luruh? Apakah karena masa orientasi sudah berlalu, kita kembali bebas menyakiti?

Ramadhan tak cukup untuk dipuji, atau sekadar ajang kompetisi. Namun hendaknya diapresiasi sebagai masa orientasi yang bertujuan untuk mengakrabkan dan menyesuaikan Muslim kembali dengan jati diri dan Ilahi. Wallahu a’lam bisshawab.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: