Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Jangan Hidup Seperti Asap

 

Oleh : Roni Haldi

Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita temui dan hadapi kondisi yang berubah-ubah. Bolehlah kita berujar seperti ungkapan, lain dulu lain sekarang. Tentu berbeda dengan bunyi pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain pula belalangnya.

Perubahan kondisi ternyata sangat sering dan besar memengaruhi perubahan pada diri seseorang. Namun itu semua adalah suatu kewajaran karena kita masih hidup dan diberi jatah hidup. Kapan perubahan itu terasa membawa-menyimpan arti negatif, saat perubahan itu menjatuhkan seseorang ke dalam jurang kehancuran yang bernama bangga berpakaian sombong.

Bangga itu ada dan hadir tatkala seseorang telah ada “rasa lebih” pada diri dan jiwanya. Rasa itu adalah rasa bangga yang melebihi-melewati batas normal dan kewajaran. Merasa sudah memiliki segala-galanya, merasa sangat mudah meraih-menggapai apa saja yang diinginkannya seakan takkan ada yang mampu menahannya, merasa dirinya disegani bahkan ditakuti oleh banyak orang karena sesuatu yang dimilikinya, merasa kata dirinya sangat dan harus didengar-dipatuhi, tak boleh dipotong apalagi dibantah, merasa ide dan pemikirannya selalu benar dan harus dihargai, merasa kehadiran dan keberadaanya sangat penting dan diinginkan, tanpa dirinya tak berarti apapun, merasa apa yang dimiliki melekat pada dirinya mampu menarik kemudian mengatur sesuai keiinginan seleranya, seolah-olah semuanya berada menurut keinginan dan segala yang berlaku atas kehendak-kemauannya semata.

Perasaan bangga berlebihan itu ternyata mampu dan ampuh mendatangkan sebuah penyakit ganas lagi berbahaya pada seseorang. Jika rasa bangga berlebihan itu dianggap biasa saja, normal apa adanya, yakinlah secara sadar atau tak sadar, semakin lama seseorang yang telah terjangkiti akan semakin terperosok jatuh jauh lagi dalam jurang yang bernama kesombongan. Menghargai orang lain sudah dirasa tak penting, menyapa orang lain dianggap buang waktu dan habiskan energi, yang ada bicara mulutnya saja, tak mau telinganya mendengar kalimat selain dirinya. Intinya cuek, selain dirinya sudah dianggap tak perlu lagi, tak penting lagi.

Petiklah pelajaran berharga dari perjalanan hidup Fir’aun yang hidup sebelum kita. “Akulah Tuhan kalian, aku menyediakan semua kebutuhan kalian. Lihatlah (Nabi) Musa, ia tak memiliki emas. Ia hanyalah orang miskin,” kata Firaun dalam satu pertemuan dengan rakyatnya termasuk Bani Israil. Bani Israil pun secepatnya langsung percaya dengan buaian kata-kata Firaun. Lupa sudah bahwa raja mereka itu telah menindas, bahkan membunuh anak-anak mereka.

Namun, mereka tepedaya dengan kilauan emas dan perak. Lupa kalau Nabi mereka Musa yang selalu menyeru hak mereka untuk lepas dari belenggu sebagai budak Fira’un. Mereka dengan mudahnya tergiur janji Fira’un yang akan memenuhi segala kebutuhan hidup mereka, meski janji itu kebohongan belaka. Dalam keteperdayaan dan kebodohan itu, Bani Israil serta-merta menaati Firaun dan mengabaikan panggilan Nabi Musa ‘alaihi salam. Mereka tergiur godaan dunia. Nabi Musa ‘alaihi salam pun dicela, tak dianggap sebagai utusan Allah.

Maka, keesokan hari setelah pertemuan itu, tanah Mesir heboh. Air di Sungai Nil tiba-tiba habis begitu saja. Nil terus kering hingga tanah pertanian gagal panen, rakyat kelaparan, Mesir dirundung panceklik. Namun, bukan bertaubat agar terbebas dari azab Allah ini, Fira’un dan pengikutnya tetap sombong dan berbangga diri. Mereka malah menuding Musa sebagai pembawa sial bagi negeri Mesir. Maka, Allah pun melanjutkan rangkaian azab-Nya. Jika sebelumnya kekeringan yang melanda, Allah kemudian menimpakan banjir besar kepada rakyat Mesir. Banjir besar yang mengikisi habis lahan subur pertanian mereka. Ketika mereka tak tahan lagi dengan banjir, mereka pun mendatangi Nabi Musa ‘alaihi salam.

“Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu,” ujar para pengikut Firaun.

Nabi Musa ‘alaihi salam pun kemudian memanjatkan doa dan segera terijabah. Azab banjir pun reda seketika. Namun begitu azab sirna, mereka ingkar janji. Mereka pun tetap tak beriman kepada kenabian Musa. Allah pun kembali menurunkan azab.

Allah mengirimkan sekawanan belalang yang kemudian memakan habis tanaman. Warga Mesir kembali kelaparan. Lalu, mereka pun kembali kepada Musa dan meminta hal sama. “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu,” kata mereka. Azab belalang pun usai. Namun lagi-lagi, mereka kembali ingkar. Allah memberikan azab kembali dengan mengirim sekawanan kutu. Tiba-tiba wabah penyakit akibat kutu itu pun melanda tanah Cleopatra.

Saat merasa sulit, mereka pun kembali kepada Nabi Musa ‘alaihi salam dan meminta hal yang sama. Nabi Musa ‘alaihi salam dengan sabar mengikuti permintaan mereka dengan harapan akan sadar. Namun, mereka kembali ingkar. Allah pun tak segan mengirimkan kembali azab. Kali ini, dikirimkan sekelompok katak. Tiba-tiba Mesir dipenuhi sesak oleh katak yang terus melompat-lompat, banyak sekali jumlahnya. Rakyat Mesir hidup dipenuhi katak-katak itu. Tertekan, mereka kembali lagi kepada Musa, dengan permintaan yang sama. Namun, ini hanyalah mengulang seperti sebelumnya. Azab dihilangkan, mereka kembali ingkar, demikian seterusnya. Maka, Allah pun kembali mengirim azab-Nya. Allah Ta’ala mengubah air Nil menjadi darah dengan bau anyir yang menyengat. Ajaibnya, ketika Musa dan pengikutnya meminum air itu, maka bagi mereka itu bukanlah darah, melainkan air biasa. Jika rakyat Mesir pengingkar kenabian Musa ingin meminumnya, tiba-tiba air berubah menjadi darah.

Seperti sebelum-sebelumnya, mereka pun mendatangi Musa dan mengatakan hal sama. Namun, setelah Nabi Musa ‘alaihi salam memanjatkan doa dan azab telah diangkat, mereka pun kembali pada keingkaran. Bertubi-tubi Allah menimpakan azab. Tentu saja, bagi orang yang berakal, itu lebih dari cukup untuk menunjukkan kenabian Musa dan ke-Esaan Allah Taala. Namun, warga Mesir telah buta hati. Mereka telah tersesat.

Kisah tentang azab bagi rakyat Fira’un ini jelas dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 130 -136.

(وَلَقَدۡ أَخَذۡنَاۤ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ بِٱلسِّنِینَ وَنَقۡصࣲ مِّنَ ٱلثَّمَرَ ٰ⁠تِ لَعَلَّهُمۡ یَذَّكَّرُونَ. فَإِذَا جَاۤءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُوا۟ لَنَا هَـٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَیِّئَةࣱ یَطَّیَّرُوا۟ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥۤۗ أَلَاۤ إِنَّمَا طَـٰۤىِٕرُهُمۡ عِندَ ٱللَّهِ وَلَـٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا یَعۡلَمُونَ. وَقَالُوا۟ مَهۡمَا تَأۡتِنَا بِهِۦ مِنۡ ءَایَةࣲ لِّتَسۡحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحۡنُ لَكَ بِمُؤۡمِنِینَ. فَأَرۡسَلۡنَا عَلَیۡهِمُ ٱلطُّوفَانَ وَٱلۡجَرَادَ وَٱلۡقُمَّلَ وَٱلضَّفَادِعَ وَٱلدَّمَ ءَایَـٰتࣲ مُّفَصَّلَـٰتࣲ فَٱسۡتَكۡبَرُوا۟ وَكَانُوا۟ قَوۡمࣰا مُّجۡرِمِینَ. وَلَمَّا وَقَعَ عَلَیۡهِمُ ٱلرِّجۡزُ قَالُوا۟ یَـٰمُوسَى ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِندَكَۖ لَىِٕن كَشَفۡتَ عَنَّا ٱلرِّجۡزَ لَنُؤۡمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرۡسِلَنَّ مَعَكَ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ. فَلَمَّا كَشَفۡنَا عَنۡهُمُ ٱلرِّجۡزَ إِلَىٰۤ أَجَلٍ هُم بَـٰلِغُوهُ إِذَا هُمۡ یَنكُثُونَ. فَٱنتَقَمۡنَا مِنۡهُمۡ فَأَغۡرَقۡنَـٰهُمۡ فِی ٱلۡیَمِّ بِأَنَّهُمۡ كَذَّبُوا۟ بِـَٔایَـٰتِنَا وَكَانُوا۟ عَنۡهَا غَـٰفِلِینَ. وَأَوۡرَثۡنَا ٱلۡقَوۡمَ ٱلَّذِینَ كَانُوا۟ یُسۡتَضۡعَفُونَ مَشَـٰرِقَ ٱلۡأَرۡضِ وَمَغَـٰرِبَهَا ٱلَّتِی بَـٰرَكۡنَا فِیهَاۖ وَتَمَّتۡ كَلِمَتُ رَبِّكَ ٱلۡحُسۡنَىٰ عَلَىٰ بَنِیۤ إِسۡرَ ٰ⁠ۤءِیلَ بِمَا صَبَرُوا۟ۖ وَدَمَّرۡنَا مَا كَانَ یَصۡنَعُ فِرۡعَوۡنُ وَقَوۡمُهُۥ وَمَا كَانُوا۟ یَعۡرِشُونَ)

Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir’aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui. Dan mereka berkata (kepada Musa), “Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami untuk menyihir kami, kami tidak akan beriman kepadamu.” Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata, “Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu sesuai dengan janji-Nya kepadamu. Jika engkau dapat menghilangkan azab itu dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” Tetapi setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang harus mereka penuhi ternyata mereka ingkar janji. Maka Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka di laut karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami. Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun. [QS. Al-A’raf: 130-137].

Betapapun hebatnya pencapaian diri, hendaklah tetap rendah hati. Agar tak sampai terperosok-terjerumus ke dalam jurang kesombongan dan keangkuhan diri. Merasa diri memiliki segalanya, tak lagi butuh bantuan orang lain, beranggapan semua bisa dibeli dengan uangnya, menganggap semua persoalan bisa selesai mudah dengan modal pengaruhnya. Rasa lebih seperti itu, sama seperti asap yang terus naik membumbung ke atas.

Janganlah ketika hidup seperti asap, selalu ingin naik membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar membumbung tinggi terus sebentar saja akan hilang dari pandangan, tiada bekas yang ditinggal kelihatan kecuali bau busuk tak sedap yang tercium diakhirnya. Begitulah tamsilan bagi seseorang yang sangat bernafsu menjadi orang yang tinggi jabatan kedudukan dan beepengaruh besar. Ketika nafsu ingin berkuasa memiliki jabatan, kedudukan tinggi dan pengaruh besar, saat itu dirinya sedang seperti membumbung tinggi ke angkasa laksana asap yang merangkak naik tinggi dari bumi ke angkasa dalam sekejap mata akan sirna hilang seketika di tiup di bawa pergi oleh angin lalu.

Jangan pernah sekalipun tingginya jabatan, mulianya kedudukan dan besarnya pengaruh dijadikan kebesaraan dan kebanggaan diri dan hati, karena semuanya itu tidaklah abadi sama seperti kita. Kebesaran dan kebanggaan akan hilang berlalu pergi tak kembali seperti asap ditiup angin meninggalkan bumi, tak berbekas kecuali bau busuk yang dikenang keburukannya selamanya. Jika bau dari asap itu aromanya wangi, pujian dan penghargaanlah yang pasti didapati, namun jika bau dari asap berupa busuk menyengat, maka caci maki dan kenangan buruk yang pasti didapati sepanjang masa.

Jadilah orang yang rendah hati, seperti orang berjalan di tanah datar terhampar. Hingga suatu saat tergelincir atau terjatuh, karena datarnya tanah tempat berpijak melangkah, segera mudah bangun dan berdiri kembali. Berbeda dengan orang yang sombong dan angkuh diri, seperti orang yang berjalan mengarah ke pinggir jurang nan dalam, sekali jatuh terperosok ke dalamnya maka semuanya akan berakhir. Ketika kaki masih berdiri, lisan masih bisa berdzikir, dan pikiran masih sehat, ambillah jalan tengah saja, agar tak seperti asap membumbung tinggi ke angkasa kemudian hilang dibawa angin. Pilihlah sikap tak berlebihan mengejar kebanggaan dan kebesaraan dunia. Karena semuanya akan berakhir tak seorang dan sedikit pun tersisa. []

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: