Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Kiai Khumul Itu Telah Pergi

KH. Nawawi Abdul Jalil meninggal dunia

Para pemimpin politik -apalagi yang tidak berpihak pada rakyat- kematian mereka adalah hal yang biasa saja. Seperti tertanggalnya duri dari tangkai, yang akan segera digantikan oleh duri-duri yang lain.

Kebanyakan manusia pun jika sudah waktunya raga melepas nyawa, itu adalah hal yang biasa. Sebab yang namanya nyawa, ia memang mempunyai batas akhir untuk tetap di kandung badan.

Seperti dedaunan, akan datang musim yang menggugurkan mereka, untuk digantikan oleh daun-daun muda.

Tapi tidak demikian dengan orang alim, kewafatan mereka adalah tangisan semesta.

Jika ada ulama yang meninggal dunia, sungguh itu adalah musibah yang seharusnya mendera orang ramai.

Sampai Baginda Nabi -shalallahu alaihi wasallam pada suatu riwayat bersabda, “Man lam yahzan bimautil ulama, fahuwa munafiq, munafiq, munafiq = Sesiapa yang tidak bersedih atas meninggalnya ulama, maka pastikankah bahwa ia adalah munafik!”

Vonis munafik itu diulangi Baginda sampai tiga kali, menandakan bahwa betapa bermasalahnya hati orang yang melepaskan kewafatan ulama tidak dengan kesedihan.

Belum kering air mata kita tersebab meninggalnya Mbah Moen, kini kita harus kembali berendam tangis, satu di antara cagak,e bumi di negeri ini kembali berpulang.

KH. Nawawi Abdul Jalil mungkin tak banyak orang awam mengenalnya. Sebab Kiai Nawawi adalah satu di antara orang alim yang tergolong khumul. Beliau menghindari keterkenalan.

Maka kemudian kita lebih mengenal Sidogiri daripada Kiai Nawawi. Nama Sidogiri pun lebih sering disebut daripada Sang Pengasuh.

Bahkan KH. Idrus Ramli, alumni Sidogiri ini mungkin lebih dikenal awam dari pada Sang Guru.

Sidogiri adalah satu di antara pesantren yang tetap teguh hingga hari ini menjaga tegaknya ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah di Indonesia. Saat beberapa pesantren mulai terpapar Liberalisme, Syiah dan bahkan mungkin juga Wahhabi.

Sidogiri juga tetap berpihak hanya pada kebenaran, walau keberpihakan tersebut seringkali tidak populer di tengah keberpihakan politik yang penuh keculasan.

Sidogiri tak jua terpengaruh dengan tren sebagian pesantren yang akhirnya menyerah pada desakan formalisasi pendidikan. Sidogiri tetap dengan khazanah yang digenggamnya.

Tidak ada SD, SMP, SMA dan juga perguruan tinggi formal di Sidogiri. Tapi pencapaian Sidogiri dalam pemberdayaan ekonomi ummat, adalah satu di antara yang menjadi kiblat hari ini.

Air kemasan merk Santri, produksi Sidogiri mungkin satu-satunya yang sanggup membuntuti raksasa Danone.

Di Jawa Timur, Toko Basmalah yang dikelola Sidogiri pun terus berpacu bersaing dengan Indomaret dan Alfamart.

Belum lagi para juragan besi tua dan berbagai industri lainnya. Sidogiri telah membuktikan, bahwa tidak ikut kemana angin berhembus, tidak hanyut kemana arus menyeret, tetap bisa digdaya!

Kiai Idrus Ramli, satu di antara alumni Sidogiri pun saat ini mendapatkan julukan Pendekar Aswaja, yang terus menyambangi ummat dari ujung Barat hingga ujung Timur.

Di tengah panji Sidogiri yang terus berkibar seperti itu, Kiai Nawawi Sang Pengasuh tetap berada dalam keterasingannya. Beliau lebih banyak berada di nDalem. Termasuk pada acara-acara di internal Pesantren, Kiai Nawawi pun lebih sering tak menampakkan diri.

Ketawudhuan beliau rasanya sulit didapati pada zaman ini. Berbagai tokoh yang datang ke Sidogiri, rata-rata usianya di bawah beliau. Pun jumlah santri dan kelimuan, tak hendak diadu dengan beliau. Tapi Kiai Nawawi tak akan memberikan tangannya untuk dicium.

Duhai Allah… sungguh diamnya Kiai Nawawi adalah permata bagi kami, di tengah banyak manusia yang kini tak henti berlomba membual.

Ketawadhuan Kiai Nawawi adalah mutiara bagi kami, di tengah maraknya kepongahan oleh mereka yang hanya punya ilmu sekedarnya saja.

Saya memang bukan santri Sidogiri. Tapi karena rumah saya tak jauh dari pesantren tua tersebut, maka tak jarang saya bertandang ke sana.

Bahkan Kitab Min Kunuzis Sunnah saya khatamkan di Sidogiri, pada Syaikh Abu Thalib, seorang Mab’utsil Azhar yang bertugas di Sidogiri.

Di tengah kekhumulan Kiai Nawawi, saya pun bersyukur, sebab setidaknya saya berkesempatan dua kali bisa berjumpa beliau.

Hanya berjumpa, tak usah beliau berucap, rasanya cukup mengaduk segenap keburukan diri. Diri ini yang pendosa, berjumpa dengan kekasih Allah seperti Kiai Nawawi adalah nutrisi jiwa yang sanggup membenamkan setan-setan di dada.

Tersentak, saat mendengar Kiai Nawawi wafat. Tangisan buncah. Tapi kita semua tetap harus merelakan beliau, sebab memang begitulah kehendak Allah.

Tuntas sudah tugas Kiai Nawawi menegakkan kekusutan bangsa ini, saatnya Allah memanggil beliau pulang. Inna lilLahi wa inna ilaiHi Rajiun. Lahul Fatehah!
(Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: