Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Hingga Puncak Tertinggi

Kami hari ini tetap melaksanakan Upacara Bendera sebagaimana mestinya. Sebab, saya sendiri tak terlalu paham apa itu yang dimaksud Upacara Bendera Daring.

Maka, saat tadi malam bertemu dengan pengurus, kami putuskan tetap lanjut upacara seperti biasa. Apalagi anak-anak sudah pada latihan.

“Jam berapa, Ustadz?” tanya santri senior yang bertugas mengatur adik-adiknya.

“Jam tujuh!” tegas saya.

“Kenapa gak jam enam?”

“Jam enam terlalu pagi. Anak-anak masih sarapan.”

“Jam delapan aja kalau gitu, Ustadz,” timpal yang lain.

“Jam delapan terlalu siang. Panas!”

Pagi, 17 Agustus 2021 langit di Kertosari cerah. Bangunan Pesantren Babul Khairat tampak gagah. Seakan tak hirau dengan berbagai kalang kabut terkait perpanjangan PPKM.

Baca Juga : Berlomba

Pukul setengah tujuh saya sudah sampai di lapangan upacara. Sebagian anak-anak sudah berada di lapangan. Melihat kedatangan saya, terdengar pengumuman: Jami’at thalibat, ijtami’nal an fi sahatil marasim, laqad hadharal ustadz!

Sesaat semua santri sudah berkumpul. Mereka memakai seragam atasan putih dan bawahan biru muda, seragam kekhasan Babul Khairat.

Para petugas upacara juga sudah rapi berada di tempat masing-masing. Mereka berkostum putih-putih.

Para ustadzah dan musyrifah pun sudah hadir. Mereka memakai abaya hitam-hitam dipadu dengan kombinasi merah putih.

Baik ustadzah ataupun santri yang sehari-hari memang bercadar, tetap dengan cadarnya. Itu tak menghalangi kami untuk berpadu dan beratur.

Upacara dimulai melalui aba-aba pembawa acara. Masing-masing pemimpin kelas menyiapkan pasukannya.

Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara, menyiapkan segenap pasukan. Berikutnya aba-aba pembina upacara memasuki lapangan upacara terdengar. Saya pun menuju tempat yang telah disiapkan.

“Siap, laksanakan!” jawab pemimpin upacara menyambut perintah pembina agar Upacara segera dilaksanakan.

Entah, suasana Upacara hari ini benar-benar khidmat. Tak jarang rasa merinding mengaliri segenap nadi. Bulu kuduk berdiri. Sampai ketika seorang santri dengan satu nampan berhias burung Garuda berjalan tegap menuju saya, saya sempat terpaku.

Sebelum akhirnya tersadar bahwa ia meminta kain bendera yang ada di hadapan saya. Saya pun meletakkan bendera kebanggaan itu di atas nampan tersebut.

Santri tersebut meninggalkan saya, berjalan menuju tiang bendera yang telah ditungguin tiga santri Paskibra. Ia serahkan bendera tersebut kepada santri yang berdiri di tengah.

Bendera diterima, diikat dengan tali pengerek. “Bendera siaap!” teriak Manal Assegaf, santri yang berdiri di tengah sambil membentangkan Sang Merah Putih, diikuti oleh teriakan penghormatan.

Semua hormat kepada panji dan lambang Negara tersebut. Khidmat benar-benar khusyuk. Bendera naik perlahan, diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Entahlah, tak terasa bilur-bilur hangat mengaliri pipi, ketika Merah Putih terus naik menuju puncak tertinggi tiang penyangga.

Saya lihat Manal dan dua orang kawannya pun ikut menangis.

Setelah bendera sampai di puncak, penghormatan selesai, saya coba lempar pandangan ke hamparan putih para santri. Tak sedikit di antara mereka yang menyeka air mata.

Begitu juga para ustadzah dan musyrifah yang berada di samping kanan saya.

Kita tak pernah tahu apa yang berkecamuk di dalam dada masing-masing, hingga buncah air mata itu tak bisa diredam.

Kondisi Bangsa yang entah kapan bisa melalui pandemi Covid-19 ini. Pertikaian politik para elit yang tak mengenal jeda.

Masih ramai pula anak-anak kandung Ibu Pertiwi yang tak bisa makan selayaknya. Tak bisa bersekolah semestinya. Pun, tak mampu berobat semestinya.

Semua hal tersebut di atas adalah sumber-sumber kesedihan, yang entah siapa kelak yang sanggup menyumbatnya.

Para pejuang dan seluruh pendahulu pendiri Republik ini telah menuntaskan tugasnya. Mereka telah kembali kepada Tuhannya, dengan menyampaikan laporan bahwa darah mereka telah dipersembahkan untuk kedaulatan Bangsa.

Sementara kita masih terseok untuk melanjutkan tugas kemerdekaan. Masing-masing kita masih berebut kepentingan masing-masing. Kepentingan diri, kelompok, agama ataupun ekonomi dan lain sebagainya.

Pesantren atau ummat Islam yang akhir-akhir ini coba distigma sebagai anti kebhinekaan, sebagai anti hormat kepada Bendera Merah Putih –sampai mau dibuat lomba hukum hormat bendera, sungguh kami telah mengkhatamkan semua halaman itu jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Hubbul Wathon minal iman!” ini doktrin yang kami anut, yang menjadikan kami begitu bahagia menjadi Indonesia, dengan segenap keragaman.

Cinta Tanah Air itu pula yang menjadikan kami menghormati Bendera Merah Putih. Kami akan menjunjungnya hingga puncak tertinggi di Indonesia kita ini.

Mengheningkan cipta saya pimpin. Kami terus khidmat. Pun saat pembina upacara menyampaikan amanat, saya terus melecut para santri untuk serius belajar, guna memberikan pengabdian terbaik kepada Indonesia.

“Dengan kecerdasan dan segenap kepandaian kalian yang kalian pelajari di pesantren ini, jagalah Indonesia untuk tetap tegak menggenggam kedaulatannya!” seru saya.

Saat berdoa, kembali kami berurai air mata. Sekali lagi, kami tak paham kenapa suasananya seperti ini. Suasana yang berbeda dari upacara serupa yang kami lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

Ketika lagu-lagu perjuangan didengungkan, para santri pun semangat. Mereka terus terbawa suasana semangat yang penuh magis, bahwa Kemerdekan ini diraih para pejuang, adalah hanya karena Berkat Rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: