
Selain dokter, sebenarnya sudah banyak yang menasehati saya untuk menceraikan kopi. Tapi kopi tetaplah kopi, walau banyak orang yang menuduhnya sebagai penyebab nyeri lambung dan bahkan sampai ulu hati. Mas Heri Cahyo dan Mbak Afiani Gobel adalah di antara yang memberikan saran agar saya mengurangi kopi.
“Antum iku wes wayahe ngurangi kopi,” kata Mas Heri saat saya terbaring di rumah sakit. “Nah ini dia, saya juga mau bilang itu,” sambut Mbak Afi.
Kopi sudah menjelma indera baru setelah lima indera yang telah disepakati. Terlepas tak semua kita sepakat tentang itu. Ada yang menyebut kopi itu pemantik lahirnya puisi. Konon hanya kopi yang bisa menjelaskan cinta dengan jujur.
Baca Juga : Kopi Malam
Maka, saat logika tak bisa mencerna, biarlah kopi yang bercerita. Saat tularan ilmu sedang berlangsung, di awal majelis bermula dan pada akhir suatu halaqah, kopi selalu menjadi penyesuai yang selalu selaras untuk semua.
Sampai kita doakan orang-orang yang menyuguhkan kopi, agar mendapat barokah yang berlimpah. Terlebih kopi yang diseduh dengan cinta, disuguhkan dengan kasih sayang. Secangkir kopi di pagi hari adalah secangkir semangat. Sopir yang sedang ngantuk, disuruh melipir dulu. Ngopi.
Berjumpa sahabat lama atau bertemu kawan baru, kebersamaan selalu ditemani kopi. Tapi satu hal, saat sepasang pengantin baru bertemu di pelaminan, gak usah ngopi dulu. Sebab itu mengganggu khidmatnya resepsi. Kalau mau ngopi, nanti aja di kamar. (Abrar Rifai)
Terkait
Menemukan Keseimbangan Lewat Digital Detox
Hewan Bukan Aksesori Belaka!
Asyiknya Belajar Nahwu