Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Siapakah Ustadz, Gus, Kiai dan Habib Itu?

Dulu di Waru, Sidoarjo, saya punya teman, namanya Eko. Tubuhnya tinggi besar, potongan rambutnya selalu ala tentara. Berjaket kulit, bercelana coklat dan bersepatu hitam, Mas Eko mendatangi tempat main kiu-kiu di pasar malam.

Mas Eko tidak pernah mengaku dirinya polisi atau tentara, tapi setiap kali dia datang ke tempat kiu-kiu, bandar permainan judi tersebut serta merta memberikan sejumlah uang kepadanya.

Sebab bandar kiu-kiu dan para pemain di situ, meyakini bahwa Mas Eko adalah seorang aparat yang datang meminta jatah. Awalnya mungkin karena kesalahpahaman, tapi lama-lama Mas Eko menikmati dan kemudian menjadikannya sebagai pekerjaan.

Begitulah kurang lebih kerancuan yang terjadi terkait panggilan ustadz, kiai, gus dan bahkan habib. Hanya karena seseorang bisa mengutip satu dua hadis, atau menyitir satu dua ayat Al Qur`an, kemudian dengan mudahnya orang awam menyebutnya ustadz.

Baca Juga : Fenomena Baru : Khutbah Jum’at Pakai Hape 

Yang bersangkutan suka dan akhirnya keterusan macak ustadz. Begitu juga kiai, dulu panggilan ini hanya disematkan kepada para pemangku pondok pesantren. Atau orang yang sangat alim, walau mungkin tidak punya pondok pesantren.

Gus, ini panggilan yang paling rancu sekarang. Dulu sebutan gus itu hanya ditujukan untuk anak kiai, walau tidak alim. Bahkan begitu lahir procot, sudah dipanggil gus dan dihormati. Makanya Gus Wahid –abangnya Neng Evi Ghozaly , pernah berujar kepada saya, “Sampean iku dadi ustadz kudu alim temenan, kudu sinau terus. Bedo karo aku, aku iki lahir procot wes dadi gus. Mesio aku gak alim, tetep ae gus.”

Tapi sekarang ini macam-macam, dukun dipanggil gus, macak sarungan titik, sering kopyahan dicelluk gus, pengurus partai disebut gus, bahkan wong gak jelas iku sopo yo dicelluk gus. Nah, sekarang habib, sefaqir yang saya ketahui, awalnya dulu panggilan habib itu hanya ditujukan kepada habib-habib tertentu saja.

Seperti Habib Soleh Tanggul, Habib Ali Kwitang, Habib Abu Bakar Gresik, Habib Anis Solo dan lainnya. Atau juga bisa menjadi panggilan cucu kepada kakeknya.

Seperti murid-murid kami di Babul Khairat, yang rata-rata adalah anaknya habaib, itu banyak yang manggil kakeknya habib. Walau ada juga yang manggil jaddi atau jiddi.Adapun selain itu, biasanya dipanggil yek (sayyid).

Atau juga seperti orang kebanyakan, dipanggil ‘pak’ begitu saja. Tapi ada juga di antara Habaib yang alim-alim, bahkan punya pondok pesantren, itu dulu dipanggil ustadz. Seperti Ustadz Muhammad Ba’abud pendiri Pondok Pesantren Darun Nasyi’in, Lawang, Malang,

Ustadz Hasan Baharun, pendiri Pondok Pesantren Dalwa, Bangil, Pasuruan dan lain-lain. Tapi sekarang ini semua dipanggil habib, baik yang tua ataupun muda, yang alim ataupun tidak.

Sebagai keturunan Rasulullah Muhammad –shallallahu’alaihi wa alihi wasallama, para Habaib memang wajib kita hormati dan muliakan. Tapi karena mudahnya panggilan habib itu kini disematkan kepada (semua) Dzurriyah Nabi, akhirnya sekarang pun bermunculan habib-habib palsu.

Bermodal irung mbangir, berjubah dan bahkan pakai imamah, kemudian mengaku habib. Padahal ketika ditelurusi nasabnya, ternyata bukan habib.

Dari semua kerancuan terkait panggilan-panggilan terhormat itu, yang kasihan orang awam, ketika kerancuan ini kemudian disengaja atau dinikmati dan disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Wallahu A’lam. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: