Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Seharusnya Santri

25 tahun yang lalu, ketika melihat kuku saya panjang dan cenderung kotor, Gus Zainuddin Siwalan Panji, Sidoarjo nyeletuk, ”Lah, santri kok kukune dowo koyok ngono!”

“Piye, olehe ngeresik,i, piye wudhune?” lanjutnya.

Saya yang ditegur begitu, menjawab dengan canda, ”Iki kuku dowo gawe nyakar raine wong-wong sing mbencekno iku lho!” 😀

Begitulah santri, untuk hal kecil sekalipun, kalau itu tidak patut, seharusnya menjadi perhatian.

Apalagi untuk satu penyimpangan, atau pelanggaran agama yang sifatnya besar, tentu harus lebih menjadi perhatian.

Baca Juga : Bukan Sekedar Membaca dan Menghafal

Santri memang tidak harus puritan, tapi bukan berarti harus liberal. Santri tidak harus fanatik kepada satu pendapat dalam agama, tapi bukan berarti harus gampangan. Apalagi sibuk mencari dalil untuk membenarkan kesalahan.

Santri boleh berpolitik, bahkan bisa menjadi penting. Tapi politik untuk meluruskan penyimpangan, bukan justru ikut larut dalam berbagai kejahatan politik yang dilakukan rezim ataupun penentang rezim.

Agama (Islam) bagi santri adalah panduan, untuk menjalani hidup dengan berbagai dinamika yang mengiringi. Santri seharusnya tidak menjadikan agama sebagai isyu untuk menghabisi rival kelompok atau organisasi.

Santri sangat menyadari bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta (lil ‘alamin), bukan sekedar rahmat bagi orang Islam (muslimin).

Tapi kerahmatan Islam pada orang bukan Islam, bukan berarti harus menghantam saudara sendiri sesama Islam.

22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri, mengikut pada hari Resolusi Jihad yang didengungkan oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, untuk berperang melawan penjajah.

Mbah Hasyim memahami dengan betul, bahwa setelah keimanan menjadi akar dalam Islam, kemudian yang menjadi pucuk tertingginya adalah jihad!

Yang diseru Mbah Hasyim untuk diperangi ketika itu adalah bangsa asing yang menjajah kita secara fisik.

Maka, seruan Mbah Hasyim untuk memerangi para penjajah tetap akan selalu relevan pada setiap masanya. Sebab kedaulatan kita sebagai Bangsa, sejatinya belum sepenuhnya kita rengkuh hingga kini.

Sila tengok, betapa banyak orang Indonesia yang sampai sekarang masih dipaksa untuk hengkang dari tanahnya sendiri, karena konon tanah tersebut telah menjadi milik koorporasi koorporasi besar. Pengembang ini, pengembang itu. Duh!

Maka, seyogyanya santri harus berdiri di garda terdepan bersama rakyat melawan semua perampasan yang terjadi.

Pun, sungguh tak patut, jika justru sebaliknya, santri malah berpihak kepada para pencaplok, tersebab dukungan kepada rezim yang sedang berkuasa.

Batang, 22 Oktober 2021
*Abrar Rifai, Pengajar di Pesantren Babul Khairat Malang

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: