Dua puluh tahun terakhir ini mungkin kehidupan sosial saya lebih banyak dengan para habaib. Itu karena saya berada di pesantren yang mayoritas santrinya adalah anak-anaknya habaib. Maka karenanya, saya sudah hafal A sampai Z semua karakter habaib. Yang paling santun, njawani ngalahi orang Jawa hingga yang paling keras ngalahi orang Bugis atau Madura.
Pun, saya relatif hafal fam-fam Arab, antara habaib dan yang bukan habaib. Saat teman-teman saya memanggil habib kepada orang Arab yang bukan habib, di situlah saya tersenyum.
Beberapa habaib terkenal ada yang anaknya mondok di Babul Khairat. Sebagian besarnya tentu adalah habaib yang sama sekali tidak dikenal publik. Di luar pesantren pun akhirnya saya berkawan dan bergaul dengan mereka. Makan-makan, jalan-jalan, cangkrukan hingga pengajian. Termasuk juga akhirnya saya menyukai makanan dan kadang berkostum seperti mereka.
“Man jalas janis = Orang itu sedikit sebanyak akan meniru orang yang dibersamainya.”
Sadat Ba’alawi atau Alawiyyin itu sebutannya. Maksudnya adalah para sayyid keturunan Alawi/Alwi. Siapa itu Alawi? Ia adalah Alawi bin Abdullah bin Ahmad Al Muhajir. Nah, Sayyidina Ahmad Al Muhajir inilah yang melakukan imigrasi dari Basrah, Irak ke Hadhramaut, Yaman Selatan.
Hadhramaut adalah tempat asal mayoritas orang Arab yang berada di Indonesia. Baik yang kalangan habaib atau bukan. Menurut berbagai literatur yang saya baca ataupun melalui perbincangan dengan banyak orang, prosentasenya sampai 98 %. Silakan teman-teman Googling.
Satu hal yang penting untuk saya utarakan adalah bahwa orang-orang Arab yang ada di Indonesia dan ber-KTP Indonesia saat ini, baik yang habaib atau bukan, mereka adalah pribumi asli! Lho, kok bisa?
Baca Juga : 67 Tahun Kalbu Bangsa
Sebab tidak seorang pun imigran Arab angkatan pertama -atau pun angkatan-angkatan setelahnya, yang datang ke sini membawa istri. Sehingga karenanya mereka menikah dengan perempuan asli Indonesia. Maka anak-anak mereka pun bisa dipastikan ber-ibu perempuan Indonesia.
Begitulah keterangan KH. Muhammad Maksum Bondowoso dalam banyak kesempatan. Habib Ahmad Asseggaf Bangil, Pasuruan pun mengingatkan anak-anak muda dari sadat Ba’alawi ini, “Koen ojok gaya-gaya, ojok-ojok mbahmu iku mbiyen tekko Hadhramaut merene, ndelok wong wedok jenenge Tukiyem rambut dowo, adus nang kali terus dirabih.”
Sehingga karenanya kita pun bisa membedakan baik wajah, pembawaan, bahasa dan budaya, sangat dipengaruhi oleh asal ibu mereka masing-masing. Semisal fam Bin Syahab/Syahab/Syihab, beda antara Syihab Sumatera Selatan dan Syihab Sulawesi Selatan. Tengok saja beda (wajah) antara Habib Riziq Syihab dan Habib Quraisy Syihab.
Atau misalnya fam Al Hamid, beda antara Al Hamid asal Tanggul, Jember dan Al Hamid asal Papua. Al Hamid Tanggul ya berupa Madura, karena memang itu adalah kawasan orang-orang Madura. Sedang Al Hamid Papua ya serupa orang Papua. Sebab mereka memang lahir dan tinggal di sana.
Bahkan Al Hamid Papua itu oleh berbagai suku lain di Papua diakui sebagai suku asli Papua. Sehingga karenanya kita mengenal satu di antara pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah Thaha Al Hamid. Tapi ingat, walau sama-sama ber-fam Al Hamid, tapi Al Hamid dari luar Papua, tetap tidak akan diakui sebagai bagian dari suku-suku asli Papua.
Itulah kenapa kemudian sekarang kita mengenal istilah ‘Jamaah’ untuk menyebut orang-orang Arab yang ada di Indonesia. Sedang kita disebutnya akhwal. Jamaah itu kumpulan (komunitas), maksudnya adalah kumpulan orang-orang Arab. Pada masing-masing asal daerah atau etnik, biasanya memang ada komunitas besar. Seperti misalnya komunitas Minang di Jakarta, komunitas Bawean di Malaysia dan lain sebagainya.
Adapun akhwal, itu adalah bentuk jamak dari khal yang berarti paman dari pihak ibu. Saudaranya ibu. Jadi, akhwal itu adalah panggilan kekerabatan dari orang-orang Arab di sini kepada kita.
Baik, sekarang kita lanjut membincang habaib (حبائب). Kalau secara bahasa sebenarnya bermakna kumpulan kekasih. Habib (حبيب) itu bentuk tunggalnya. Saya tidak tahu pasti kapan sebutan habib ini bermula. Sebab yang umum sebenarnya adalah sayyid (سيّد), yang kalau dalam bentuk jamak adalah sadat (سادة).
Menurut KH. Muhammad Idrus Ramli, panggilan habib itu bermula sejak abad ke 11 Hijriyah. Orang yang pertama kali dipanggil habib adalah Habib Umar bin Abdurrahman Al Aththos. Jadi panggilan habib ini memang identik dengan Sadat Ba’alawi saja. Sedang para sayyid keturunan Rasulullah selain Ba’alawi tidak dikenal dengan sebutan habib.
Habib pun awalnya disematkan kepada Sadat Ba’alwi yang telah mencapai usia tertentu dan keilmuan yang sudah dikategorikan sebagai alim. Makanya, Sayyid Salim, putra Habib Umar Bin Hafidz sampai sekarang pun lebih banyak orang memanggilnya sayyid, bukan habib.
Tapi dalam perjalanannya, sekarang semua sayyid dipanggil habib. Baik yang masih muda atau pun tidak berilmu. Termasuk juga akhirnya para sadat di luar Ba’alawi. (Abrar Rifai)
Bersambung…

Terkait
5 Bintang Dunia dengan ADHD
Adab Tidur
Renungan Jum’at pagi : JAGA IMAN, DAN BERBAHAGIALAH