Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Oleh: Mahfuzh Huda

Selama setahun terakhir aku menekuni satu profesi yang perlu kedisiplinan, fisik, dan stamina yang baik, yaitu menjadi loper koran. Setahun pula tidak pernah menceritakan tentang profesi ini kepada kedua orang tua dan sanak saudara.

Takut, jika malah membuat kedua orang tua di tanah air menjadi terus-terusan khawatir terhadap nasib anaknya yang jauh di negeri matahari terbit, Jepang.

Sebab berdasarkan perspektif umumnya di kampung halaman, menjadi loper koran adalah profesi yang nelongso, prihatin. Kesannya terpaksa dilakukan demi mendapatkan uang. Apalagi kalau mengantarnya pakai sepeda sejauh delapan kilometer, pasti seperti diiringi lagu nestapa ketika mendengarnya.

Sementara aku melakukannya sejujurnya adalah karena ingin berolah raga secara rutin setiap pagi, disamping mendapatkan tambahan uang saku untuk jajan atau jalan-jalan tentunya. Lagu latarnya lebih ke Melompat Lebih Tinggi, Sheilla On Seven.

Awal kerja, aku harus bangun jam 3 shubuh untuk mengantarkan koran. Ini karena belum hafal seluruh alamat dan nama pelanggan koran. Setelah seminggu, lebih sering berangkat jam 4 shubuh, sebab sudah hafal seluruh lokasi pengiriman, sekitar 150 lembar koran.

Banyak yang mengira kalau bersepeda sejauh tujuh kilometer itu yang berat, padahal justru lebih beratnya untuk mengantarkan korannya satu persatu. Sebab pelanggan koran di sini lebih banyak area apartemen bertingkat, jadi aku harus menaiki tangga hingga lantai lima untuk mengantarkan satu lembar koran. Ini yang berat.

Tapi itu semua terbayarkan ketika kebanyakan orang harus membayar ekstra untuk bisa mengurangi timbangan berat badan, aku justru mendapatkan uang saku untuk mengurangi lemak di badan.

Ketika yang lain bingung bagaimana agar bisa disiplin olah raga demi menurunkan timbangan, aku tinggal ingat-ingat sudah ditunggu pelanggan tepat sebelum jam 6 pagi untuk bisa disiplin.

Tentu saja sama seperti pekerjaan lainnya, mengantar koran tidak selalu menyenangkan. Terkadang harus basah-basahan karena cuacanya hujan, terutama kalau hujan di musim gugur, dingin; udaranya menjadi sangat dingin. Tetapi namanya juga kehidupan ada mendungnya, ada cerahnya.

Bangun pagi tentu saja bukan menjadi masalah kalau di tanah air, sebab ada suara adzan Shubuh, setelah itu semua orang memulai aktivitasnya. Tetapi di sini, hanya beberapa jenis profesi yang mengharuskan bangun shubuh, selebihnya baru mulai beraktivitas di pukul 8 pagi. Bangun dini hari ketika tidak ada suara adzan dan mayoritas orang baru terlelap itu tantangan tersendiri.

Tapi seperti sebelumnya, hidup memang ada mendungnya, ada cerahnya. Karena bangun shubuh dan harus mengantar koran, aku melihat pemandangan terbaik setiap harinya. Kota Okayama yang sudah ditinggali 4 tahun lebih, ternyata baru aku dapatkan keindahannya ketika rutin melihat matahari terbit setelah kerja mengantar koran.

Salah satu koran yang kuantarkan, berbahasa Inggris, jadi seringkali bisa membacanya sebelum mengantarkan. Dapat berbagai informasi menarik terutama dari Jepang dan Amerika. Lumayan, gratisan.

Ada banyak hal menyenangkan dari kerjaan sambilanku sebagai loper koran. Tetapi tentu saja kebanyakan masyarakat termasuk orang tuaku mungkin masih memiliki perspektif yang prihatin atas kegiatan rutin pagi hariku. Aku nggak menyalahkan.

Pada dasarnya realitas yang kita alami sangat bergantung kepada perspektif bagaimana cara kita melihatnya. Perspektif itu seperti teropong, kalau diarahkan pada sudut yang tepat dia akan menarik, sementara pada sudut yang salah dia bisa jadi mengerikan atau menyedihkan.

Jadi ketika melihat orang lain sepertinya prihatin, jangan-jangan justru dia orang yang paling bahagia dan beruntung yang mungkin kita temui hari ini. []

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: