Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

“Datanglah ke kotaku. Aku akan menunggumu di belakang pasar dekat rumahku,” katanya di ujung telepon.

Ketika itu masih belum ada smartphone. Kami bertelepon melalui telepon rumah. Nur Jannah bersikeras mengajakku lari. Kawin lari!

“Kemana kita?” tanyaku

“Kemana saja. Asal bersamamu aku mau!”

Aku memang begitu mencintai Nur Jannah. Sebagaimana Nur Jannah pun sangat mencintaiku.

Tapi dari awal aku sudah bilang padanya, bahwa aku hanya ingin menikahinya. Menikah dengan benar. Seijin ayah dan ibunya.

“Tdak mungkin, Nur! Kamu sudah jadi tunangan orang. Kita sudah tidak mungkin lagi menikah.”

“Tidak mungkin gimana? Janur kuning belum melengkung, Man!”

Dengan hanya bermodal cinta, sebulan yang lalu aku menemui ayah Nur Jannah.

“Namamu siapa?”

“Iman, Pak.”

“Lengkapnya?”

“Iman Billah.”

“Asal mana?”

“Sumenep, Madura.”

“Di Surabaya kerja apa?”

“Jaga wartel paruh waktu, Pak. Sebab saya masih kuliah.”

“Lha Sampean kerja aja gak jelas, mau melamar anak saya?”

Lamaran ditolak!

Keesokan harinya Nur Jannah memberi kabar bahwa dirinya telah ditunangkan dengan anak orang kaya, masih saudara jauh ayahnya.

Maka sejak itu, hari-hari yang kami lalui begitu menyebalkan. Muak aku menerima ketidak-adilan ini. Kenapa cinta harus dipaksa tunduk pada harta.

Baca Juga : Sederhana Saja

Nur Jannah tetap bersikeras memaksaku untuk membawanya pergi.

“Aku tidak mau dengan orang itu, Man. Aku hanya ingin menikah denganmu.”

“Tidak bisa begitu, Nur. Ayahmu berhak sepenuhnya atas dirimu. Beliau berhak menikahkan kamu dengan siapa saja yang dikehendakinya. Ayah adalah wali mujbir.”

“Halah. Persetan dengan semua itu!” derai air mata Nur Jannah, semakin mengiris-iris hatiku. “Man, plis Man. Tolong aku. Bawalah aku pergi.”

Cinta tetap harus didudukkan semestinya. Cinta tidak boleh menerobos batas agama. Begitulah prinsip yang aku genggam. Sebab kalau cinta itu diniatkan bahagia, sesungguhnya kepatuhan kepada agama adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Biarlah Nur Jannah menjadi satu penggal cerita yang pernah aku lakonkan bersamanya.

Sebelum terbit matahari esok hari, aku sudah harus mengubur nama Nur Jannah di bawah lapis bumi yang paling dalam.

Pada sujud terakhir, rakaat ke tiga witirku malam ini, suara Gus Wafi guruku begitu keras menabuh gendang telinga, “Man, kalau kau benar-benar masih merasa menjadi orang Islam, tinggalkan Nur Jannah. Dosa besar bagi seorang muslim kalau masih berurusan dengan perempuan yang sudah jadi tunangan orang lain!” (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: