Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Bukan Kaum Mustadh’afin

Oleh: Lailatus Syukriyah

“Ayo, Mas. Makan. Sudah dipesankan.”

“Enggak, mbak. Enggak usah.”

Ada sebuah tempat ngopi di Yogyakarta yang pemiliknya saya kenal. Beliau sering mentraktir kami, anak-anak muda yang beliau kenal. Termasuk saya. 90% yang diajak makan adalah pria karena jarang ada wanita (yang pemiliknya kenal) nongkrong di warung kopi tersebut. Saya beruntung karena saya wanita, saya bisa menolak dengan alasan tidak ada teman wanita.

“Tidak ada makan siang yang gratis.”

Itu yang ada di benak orang-orang yang waspada. Apalagi jika yang mengajak makan adalah orang yang tidak terlalu akrab dengan kita. Bapak pemilik warung kopi saya kenal akrab, maka saya tidak menolak saat diajak makan asal ada teman wanita. Saya pun mengenal beliau secara pribadi. Bukan karena urusan bisnis atau urusan politik meski akhirnya saya bergabung menjadi tim beliau untuk urusan politik. Berbeda dengan teman saya yang menolak diajak makan, teman saya mengenal pemilik warung kopi karena urusan politik. Maka ia berhati-hati atas makan dan minum yang ditawarkan. Sebut saja namanya Satria.

Baca Juga : Bijak Berbeda

“Ada Pak Bos. Makan siang (makan malam) kita aman.” Kata salah seorang teman saya yang lain suatu hari. Sebut saja namanya Roma.

Dio (bukan nama sebenarnya) adalah orang sering membuat trik agar ia dan anak muda lainnya perutnya aman terisi. Ia berkata, “Caranya la. Kamu langsung pesen aja saat kayak gini. Beliau tidak mungkin menolak kalau diminta di depan umum.”

Saya agak kurang srek dengan caranya. Jadi, apakah kita peminta-minta? Harga diri saya berteriak. Uang yang saya miliki mungkin terbatas, tapi tidak begitu caranya. Memang halal, karena pada akhirnya bapak pemilik warung ikhlas mentraktir kita semua. Tetap saja ada rasa kurang pas yang saya rasakan. Saya pun beberapa kali mengajukan dana untuk urusan organisasi politik yang ada di bawah naungan beliau. Saya lakukan karena memang kami mengadakan acara untuk urusan organisasi. Bukan urusan pribadi. Cara memintanya pun legal, tidak main kucing-kucingan. Sebelum kami memesan, saya meminta izin secara pribadi sehingga bisa memunculkan jawaban iya dan tidak. Tidak menodong pemilik warung meski beliau kaya.

Beberapa kali saya bertemu dengan Satria. Baik urusan pribadi maupun organisasi. Satria belum mapan secara ekonomi, sebelas dua belas dengan saya. Kami pun tahu diri, jika janjian bertemu, kami tidak memilih tempat yang mahal. Sesuai dengan kantong kami saja. Kalau sedang tipis, kami paling hanya pesan kopi. Tidak pesan makanan.

Tiap kali bertemu, Satria yang membayar. Seringkali sampai memaksa, padahal saya tahu uang yang ia miliki tidak banyak. Posisinya setara, maka saya yang menjadi tidak enak jika terus-terusan ditraktir. Suatu ketika saya sengaja mengajak bertemu. Saat itu saya mengambil kesempatan membayar duluan tanpa sepengetahuan Satria. Saat pulang, Satria memaksa membayar, tapi saya punya alasan, “Sudah saya bayar, Mas Satria. Kan saya yang mengajak. Sudah seharusnya saya yang mentraktir.”

Kemarin kami bertemu lagi untuk bahasan organisasi. Di warung kopi yang sama, ruangan berbeda, para senior bersama pemilik warung juga sedang rapat membahas organisasi yang sama pada level berbeda. Saat itu pemilik warung memesan makanan dari warungnya yang lain untuk makan malam kami. Sebelum magrib, makanan sudah datang. Saya sudah dikode ibu-ibu dan bapak pemilik pemilik warung untuk mengambil dan mengambilkan juga untuk Satria dan Roma. Saya tidak segera mengambil, “nanti saja setelah sholat magrib,” pikir saya.

Roma berkata, “Nah, kan. Sudah datang. Pokoknya kalau di sini perut kita aman.”

“Jadi, yang ada di sini adalah kaum mustadh’afin yaa. Orang-orang yang layak disantuni.” Kata Satria.

Saya menanggapi sambil tertawa, “mungkin.” Kemudian saya melanjutkan, “tapi kalau sekarang beda case. Kan kita sedang rapat, itu bagian dari konsumsi kita karena kita memikirkan organisasi. Bukan karena kita sobat misquin yang layak disantuni.”

Ba’da sholat magrib Satria mengajak saya, “Pindah tempat saja yuuk, mbak. Kita lanjutkan obrolan kita di tempat lain.”

“Iya, makan dulu ya, Mas Satria.” Saya langsung mengambil tiga kotak makanan, ia pun buru-buru melangkah keluar namun tertangkap mata pemilik warung. Bapak pemilik warung bertanya, “Ngapain buru-buru, Satria. Makan dulu lah.”

“Tidak usah pak.” Jawab Satria sambil tersenyum.

Saya pun berkata kepada pemilik warung, “Mas Satria ini harga dirinya tinggi, pak. Dia tidak menerima makanan dari orang karena ia merasa bukan kaum yang layak disantuni.”

Pemilik warung menjawab, “Loh! Kalian tidak sedang disantuni. Ini jatah kalian karena rapat.”

“Tuh kan, mas. I know what you feel because I feel that too. Aku juga bukan kaum mustadh’afin. Pilih-pilih juga kalau menerima pemberian. Ini memang jatah konsumsi kita. Ayo kita makan! Setelah itu mau lanjut ngobrol di sini atau di luar bolehlah.”

Kami pun makan malam bersama. Lanjut mengobrol bertiga sampai sekitar jam sembilan malam, lalu pulang ke kost masing-masing.

Allahu a’lam

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: