Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Sampainya Sang Penempuh Jalan

“Koncomu iku wadahe jembar, enak karek ngisi,” kata Kiai Hasan melalui seorang santrinya, setelah sehari sebelumnya saya sowan kepada beliau.

Masjid Tiban atau Pondok Pesantren Biharu Bahril Asal, yang juga oleh sebagian orang disebut masjid jin, sangat kental nuansa magis dan metafisika, bagi orang-orang yang mempercayainyainya.

Begitulah juga kesan saya sebelumnya. Yaitu satu masjid megah dan besar, yang dibangun oleh pasukan jin hanya dalam beberapa malam saja.

Tapi, ketika saya berjumpa secara langsung dengan pengasuh pondok pesantren tersebut, semua dugaan akan hal-hal metafisika itu sirna.

Sebab KH. Ahmad Hasan, seperti halnya kiai-kiai yang lain, adalah seorang alim yang rasional, tapi memang lebih memilih hubungan yang lebih akrab dengan Allah daripada hubungan dengan sesama manusia.

Baca Juga : Kepergian Pengamal Asmaul Husna

Demikianlah memang pilihan hidup para pelaku tasawwuf. Dunia hanyalah jalan yang niscaya dilalui untuk menuju Allah. Bukan untuk berkubang, apalagi tenggelam dengan sangat dalam di dalamnya.

Suaranya lirih, dengan daya pikat yang membuat lawan bicara memilih diam hingga beliau selesai bertutur.

Di antara fawaid yang saya dapatkan dari beliau dan saya pegang hingga kini, beliau berujar:

  1. Manusia yang majdzub memang sudah gugur kewajiban syariatnya. Sebab hati dan pikirannya sudah ketarik kepada Allah.
  2. Orang majdzub itu sudah lupa sekelilingnya. Lupa di mana dia berada dan bahkan dirinya sendiripun sudah lupa.
  3. Orang majdzub sudah sama sekali meninggalkan dunia ini. Sehingga karenanya dia sudah tak menginginkan apapun dari dunia.
  4. Nah, orang yang pada dirinya saja sudah lupa, bagaimana dia akan bisa wudhu, shalat dan lain sebagainya. Maka, wajar kalau segenap kewajiban itu sudah tertanggal.
  5. Namun kalau ada orang yang mengaku, majdzub, tapi masih bisa membedakan antara sate kambing dengan tempe, masih berhasrat untuk menikah lagi, menikah lagi, menikah lagi, pastikanlah bahwa pengakuannya itu tidaklah benar.

Pada Pilpres yang lalu, komunikasi saya dengan Kiai Hasan semakin intens, sebab saya yang menjadi fasilitator antara Sandiaga Uno dan beliau.

Seusai Pilpres yang akhirnya Sandi dan Prabowo menjadi pecundang, beberapa kali Kiai Hasan sempat nimbali (memanggil) saya. Tapi dasar saya yang sok sibuk, tak selalu panggilan beliau bisa saya penuhi.

Sampai akhirnya hari itu, saya lupa tepatnya, seorang santri beliau menghubungi saya, “Ditimbali Yai. Kebetulan nanti malam juga ada tamu orang Sudan, nek iso Sampean sing nerjemah.”

Hari itu adalah hari pertama saya mengendarai Silverqueen, mobil Everest yang sekarang setia menemani saya kemana-mana.

Jadi mobil itu pertama kali saya kendarai, ya menuju pesantrennya Kiai Hasan. Bukan di Masjid Tiban, tapi di pesantren beliau yang lain, Pondok Pesantren Nurul Muhasabah di Tirtoyudo.

Pada majelis yang dihadiri ribuan jamaah, saya berkesempatan duduk di sebelah beliau. Sebab saya akan menterjemahkan ceramah berbahasa Arab seorang syaikh asal Sudan.

Tapi sebagai santri, saya tetap memilih duduk di lantai di depan samping kiri beliau. Saya tidak berani menjejeri beliau langsung.

Seusai majelis, saya pun diajak ke nDalem, untuk menikmati makan malam. Masya Allah, Kiai Hasan melayani kami sendiri. Mengambilkan nasi dan lauk. Kebetulan juga malam itu ada tamu dari pejabat Dinas Pendidikan.

Ternyata pertemuan malam itu adalah perjumpaan saya yang terakhir dengan Kiai Hasan.

Dua hari yang lalu, saat malam baru bermula menyelimuti hari dengan gelapnya, seorang kawan menelpon saya, “Temen ta Kiai Hasan kapundut?”

Saya tersentak. Apalagi setelah membuka-buka WAG, ternyata informasi kewafatan beliau telah memenuhi banyak grup.

Saya pun memastikan berita tersebut kepada Gus Fatkhurrozi An-Nuuru , salah seorang santri kesayangan beliau yang sekarang dipercaya menjadi kepala sekolah di lingkungan pesantrennya.

Ternyata berita tersebut benar. Saya tak banyak berkata-kata, hanya sekedar mengirim emoticon menangis yang ada di WhatsApp.

Selamat jalan, Kiai. Sampai sudah perjalananmu ke haribaan Allah, yang selama ini memang begitu engkau rindukan. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: