Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Habibana Asad

disebelah kanan adalah Habibana Asadullah bin Alwy Alaydrus

Saya begitu mudah bergaul. Gampang kenal dan cepat akrab. Bahkan masuk kategori SKSD parah.

Tak kira etnik, tak peduli rupa, pun tak hirau latar belakang dan agama. Selagi masih berupa manusia, tentu tak ada sekat untuk kita berkawan.

Tapi lepas dari itu, saya sebenarnya tidak mudah berteman dalam artian dekat sedekatnya. Maka, dari sekian ribu teman saya -baik di maya ataupun di darat, yang akhirnya bisa dekat jumlahnya tak sampai hitungan jari sebelah tangan.

Nah, satu di antara yang akhirnya bersemayam di hati, menjadi kawan rapat dan teman berjalan dalam banyak kesempatan, adalah beliau ini.

Padahal kalau bicara perbedaan antara saya dengan beliau, seperti membedakan antara kemarau dan penghujan.

Bicara derajat, seperti mengukur jauh antara langit ke tujuh dan lapisan bumi yang paling bawah. Para santri sering menyebutnya, “Bainas samaaa` was sumuuuur!”

Sekilas saja, lihat foto ini, saya berkostum serba hitam. Sedang beliau berbusana serba putih. Dari sini sudah jelas rimbanya. Dari mana kami berasal.

Saya hanyalah pembelajar yang masih tertatih hingga kini. Sedang beliau adalah guru mulia yang mengajar dari Malang Selatan hingga Ciranjang Jawa Barat. Dari Pusdik Watukosek hingga komplek Hakim Agung Jakarta.

Murid beliau, mulai dari peremen tobat, hingga tentara dan polisi aktif. Dari pedalaman mBaran hingga jantung Ibukota.

Habibana Asadullah bin Alwy Alaydrus, ketulusannya itu adalah hal utama yang menaklukkan saya. Ditambah rendah hati, tidak sombong dan apa adanya, itu semakin memperkokoh kepribadiannya sebagai seorang kawan.

“Kiai Choirul Anam berujar, “Habib Asad itu njawani. Makane aku seneng nemen!”

Habib Alwy bin Salim Alaydrus adalah gurunya para kiai di Malang. Sebutlah KH. Bashori Alwi, KH. Abdul Manan, KH. Masduqi Mahfudz, KH. Mukhtar Ghozali dan masih banyak lagi lainnya.

Maka, dengan ke-humble-annya, Habib Asad tetaplah dihormati para kiai di Malang. Sebab beliau adalah putra dari guru mereka.

Belum lama saya mengenalnya, bermula saat aksi-aksi menuntut Ahok agar dipenjara pada Tahun 2016 yang lalu. Beliau adalah simpul massa yang sanggup menggerakkan puluhan ribu orang di Malang raya untuk turun jalan.

Baca Juga: Prof. Yunahar Ilyas

Saya waktu itu sempat menjadi korlap. Habib Asad mulai meng-klik hati saya, saat saya akan lompat dari mobil komando. Ia sigap mengulurkan dua tangannya, “Mencoloto wes, tak tampani!” teriaknya.

Saya membatin, “Habib iki cek apik,e…”

Berikutnya dalam setiap rapat, ia rajin mendengar. Tidak mendominasi dan tidak memposisikan ide harus dari dia. Saat makan bersama pun, Habib Asad begitu semrawung dengan kita.

Pun, kala ia duduk di kursi, saya memilih duduk di bawah. Habib Asad maksa saya untuk duduk di atas.

Begitulah, kemudian waktu terus mendekatkan kita. Jalan bersama, makan bareng, majlas. Pergi berbagai tempat. Jumpa kawan-kawan di Malaysia dan termasuk berburu kuliner bersama.

Beliau ini punya pengajian rutinan bisa sampai lima tempat dalam semalam. Saya sering kali ikut saja. Walau kadang sambil menahan kantuk parah.

Dalam perjalanan bermobil, beliau yang sering ambil alih kemudi, sebab saya termasuk orang yang ngantuk,an parah.

Pun, melihat kenyataan teman saya yang banyak perempuan, Habib Asad juga menasehati agar saya hati-hati. “Fitnahe harem iku dahsyat,” katanya.(Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: