Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Errol Jonathans dan Jejaknya di Jurnalisme Radio

Oleh : Sirikit Syah

Saya mengenal Errol Jonathans sejak masih mahasiswa dan aktif di Bengkel Muda Surabaya-Dewan Kesenian Surabaya. Dunia kesenian mendekatkan kami. Waktu masih muda, Errol suka baca puisi dan main drama, sama seperti saya. Dua adik perempuannya, Lita dan Jilly, adalah penyanyi Leo Kristi yang saya kagumi. Saya pernah main ke rumah orangtua mereka di Jl. Darmokali sekitar akhir 1970-an atau awal 1980-an.

Kami semakin akrab melalui profesi jurnalis yang kami pilih. Pada tahun yang sama, 1984, saya memulai karir di Surabaya Post, Errol di Radio Suara Surabaya (setelah sebelumnya di harian Pos Kota). Ketika saya dipercaya menangani rubrik/halaman seni di Surabaya Post, saya dedikasikan 1 halaman penuh untuk rubrik musik, yang menjadi passion Errol. Halaman Seni di harian SP kemudian menjadi rujukan dan barometer aktivitas seni di Jawa Timur maupun Indonesia. Ulasan-ulasan musik, teater, tari, dan film, boleh dikata paling kaya warna dibanding media lainnya di tahun 1980-1990an itu.

Saya menyaksikan bagaimana Radio Suara Surabaya dibangun, dari sebuah tanah sempit di kawasan Wonokitri, bangunan setengah jadi, pohon bambu, dan beberapa karyawan. Kerjasama Radio SS dan koran SP berjalan sangat baik, sebaik persahabatan kami. Kami bahkan menikah pada tahun yang sama, dan sama-sama memiliki dua anak dengan usia sepantaran.

Baca Juga : Menggenggam Kejujuran

Kerjasama selanjutnya dengan Errol adalah ketika saya mendirikan LKM Media Watch tahun 1999. Radio SS sangat mengapresiasi dan memberi jam siaran gratis satu jam seminggu dari tahun 1999-2008. Acara yang mengupas praktik dan etika media itu sangat populer, beberapa kali memeroleh predikat program talk show terfavorit karena angka respon yang tinggi dari pendengar.

Bagi saya, Errol adalah senior, guru, sahabat, mitra, dan kolega terbaik. Ketika saya memimpin Stikosa-AWS bersama Pak Nadim Zuhdi alm, saya kerap mengundangnya untuk memberi saran masukan. Boleh dikata, Errol adalah produk generasi emas alumnus kampus mungil di Nginden Intan itu, sebagaimana Satria Narada (Bali Post-Bali TV Group), Tjuk Suwarsono dan Zainal Arifin (Surabaya Post), Dhimam Abror (Jawa Pos), Sapto Anggoro (detik.com-tirto.id), Maria Andriana (Antara), dll.

Tahun 1990 ketika saya resign dari SP dan belum punya tempat kerja, Suara Surabaya siap menampung. Namun kemudian saya diterima di SCTV. Satu hal yang di luar rencana saya, banyak anak buah saya di SCTV adalah bedholan Radio SS (Bambang Purwadi, Driantama, Troy Pantau). Errol tidak mempermasalahkan, dan kami tetap berteman secara professional maupun personal.

Sosok Errol Jonathans identik dengan perkembangan dunia radio di Indonesia. Ide-idenya cemerlang, selalu sukses, dan diikuti yang lain. Errol banyak menebar ilmu di berbagai wilayah di Indonesia untuk kualitas jurnalisme radio yang lebih baik. Di antara banyak praktisi radio di Indonesia, tak akan mengherankan bila sebagian akan mengaku sebagai “murid” Errol Jonathans. Bahkan, boleh dikata, Errol dan Radio SS adalah pelopor citizen journalism, jurnalisme dari warga untuk warga. Warga biasa bisa dan boleh mewartakan apa yang disaksikannya. Begitu kuatnya ikatan pedengar SS sampai-sampai bila ada orang kehilangan motor atau mobil, lapor ke SS, disiarkan saat itu juga, dan pada hari yang sama, motor atau mobil yang hilang sudah terlacak atau ditemukan. Para pendengar SS lah yang membantu aparat polisi menemukannya. Sambil mendengarkan siaran, mata mereka mengawasi nomor polisi kendaraan yang bersliweran di jalan, mencari motor/mobil yang dilaporkan hilang.

Slogan “dari warga untuk warga” mewujud dalam program Kelana Kota Suara Surabaya. Karena suksesnya menjaring segmen audience ‘orang bermobil”, kabarnya tarip iklan di SS termahal di Indonesia dan antrenya enam bulan. Program Kelana Kota ini menjadi legacy atas pengabdian tanpa henti Errol Jonathans. Ini mewujudkan teori Bill Kovach dan Tim Rosenthiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, yang salah satu elemennya adalah
“menyediakan forum bagi publik”. Bisa membayangkan media tanpa forum publik? Tanpa halaman Surat Pembaca atau tanpa segmen interaktif? Itu akan sama saja dengan corong kehumasan satu arah.

Errol telah menapaki jalannya tanpa gegap gempita, namun jejaknya dapat tersebar di seantero nusantara. Mendengar kata radio, kita ingat Errol. Mendengar Radio SS, terbayang Errol. Semoga Radio SS berjalan baik-baik saja tanpa motor penggeraknya, dan dunia radio, khususnya jurnalisme radio, di Indonesia melanjutkan profesionalisme yang telah disebarkan oleh Errol. Everybody dies, but only some leave a legacy. RIP Errol Jonathans.

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: