Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Kopi Klotok: Modal Kepercayaan Berharap Kejujuran

Jaman edan seperti sekarang ini, dalam belantara kebohongan yang demikian lebat, untuk mendapatkan kejujuran itu konon seperti mencari satu jarum yang tertimbun dalam tumpukan jerami.

Kesimpulan di atas seringkali terungkap sebagai ekspresi untuk menunjukkan betapa orang jujur itu semakin langka.

Padahal tidak begitu juga, masih banyak kok orang-orang jujur. Hanya saja mereka terbenam di tengah kerumunan manusia-manusia culas, yang panik melanjutkan hidup, hingga harus menghalalkan segala cara.

Jiwa-jiwa itu senantiasa akan bersama dengan yang serupa, seperti bala tentara yang bergerak padu. Kurang lebih seperti itu yang pernah disabdakan Baginda Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallama–.

Maka kemudian para pembohong akan banyak bersama orang-orang bohong. Sedang orang-orang jujur pun akan sentiasa bergandengan dengan sesamanya. Maka seorang penyair menegaskan, “Anilmar’i la tas’al wasal ‘an qarinihi, fakullu qarin bilmuqarin yaqtadi!”

Saya berkunjung ke kawasan Merapi Yogyakarta. Saya bersama istri dan anak-anak menemani dua keluarga dari komunitas Fevci: Ford Everest Club Indonesia asal Bali dan Jakarta.

Baca Juga : Napak Tilas Cinta 

Di Merapi kami melakukan of road fun, yang banyak ditemui di kawasan tersebut. Pun, kami mengunjungi banyak serpihan-serpihan yang menjadi jejak peninggalan letusan Merapi pada tahun 2010 silam.

Namun tulisan kali ini tidak saya fokuskan pada dahsyatnya dampak letusan Merapi yang telah memporak-porandakan pemukiman warga di lereng gunung tersebut.

Tapi satu titik yang menarik perhatian saya: Toilet Kejujuran.

Toilet. Iya toilet. Atau WC umum yang biasa digunakan orang-orang umum untuk berak dan kencing dengan membayar. Biasanya dulu adanya di terminal dan kawasan-kawasan umum lainnya. Orang Surabaya menyebutnya ponten.

Namun, belakangan sudah banyak toilet yang digratiskan. Sebab memang sudah selayaknya gratis. Karena kita mendatangi terminal, rest area jalan tol pom bensin dan lain sebagainya, itu sudah membayar atau membeli produk pengelola. Masa untuk buang hajat disuruh bayar lagi!

Cerita di Merapi lain lagi. Memang toilet tidak digratiskan. Karena dikelola dan dirawat oleh warga secara sukarela. Tidak digratiskan, tapi juga tidak dipaksa bayar. Disuruh bayar atas Kejujuran masing-masing orang.

Terpampang di dinding toilet tersebut: Toilet Kejujuran. BAK dan BAB 2000, Mandi 5000. Menariknya selama lebih setengah jam saya perhatikan, semua orang yang keluar dari bilik privasi tersebut, semuanya bayar, memasukkan uang ke kotak yang telah disediakan.

Artinya, walau toilet ini tidak ditunggu, semua pengunjungnya jujur. Termasuk juga saya lihat para pedagang yang ada di situ.

Dari kawasan Merapi, Om Dicky, member Fevci NRA 003 asal Jakarta, membawa kami ke sebuah warung yang bernama Kopi Klotok. Nah, ini adalah jantung tulisan ini: Kopi Klotok!

Kopi klotok namanya. Klotok atau kalotok di kampung saya adalah sebutan untuk ikan layang yang sudah dikeringkan. Biasanya dikeringkan dengan disertai garam dan asam.

Sekilas kita akan membayangkan warung ini khas berjualan kopi atau terkenal dengan kopinya. Tapi saya salah. Karena ternyata justru makanannya yang khas. Nasi putih disertai tiga jenis sayur: sayur asem, sop, lodeh dan gudeg.

Selain nasi putih dan empat jenis sayur tersebut. Ada juga sambel dan telur dadar. Satu lagi, ada pisang goreng. Dan tentunya juga ada kopi.

Kopi Klotok, ini adalah warung nasi yang paling ruaaame yang pernah saya lihat. Baik saya lihat langsung atau saya saksikan di tayangan-tayangan video tivi dan YouTube. Sungguh saya tak pernah melihat warung seramai Kopi Klotok.

Antrian mengular, melebihi panjangnya antrian sembako saat ada operasi pasar, ketika Sembako susah didapatkan. “Ini jualan apaan sih, kok iso wong semene akehe rela antri sepanjang ini hanya untuk beli sepiring nasi!” gerutu batin saya.

Dari titik saya antri hingga menjangkau piring untuk mengambil nasi, satu jam lebih saya berdiri bersama para pengunjung yang lain. Sepanjang antrian kami bercanda. ”Kita lihat nanti, Mas, seenak apa makanannya, kok bisa kita mau disuruh antri begin?” celetuk seorang di antara kami.

Setelah saya sampai ke tempat tumpukan piring, menjelang wakul-wakul nasi putih. Rupanya semua orang bebas ambil sendiri makanan yang dimaui. Tapi saya sempat kecewa, sebab di situ tidak tampak lauk emak-emak, seperti ayam, daging, ikan atau apalah makanan enak-enak yang biasa kita temui di resto mahal.

Karena yang ada hanya nasi putih, sayur asem, sop, lodeh, gudeg dan sambel. Tak ada lauk sama sekali. Eit, rupanya ada telur dadar di sana, agak ke ujung. Tapi harus antri lagi untuk mendapatkannya. Kita juga harus lebih sabar lagi menunggu orangnya menggorengkan.

Jadi telur yang didadar itu masih berada di kuali. Penggorengnya terus menggoreng, sebab yang antri tak pernah putus selama berjam-jam. Begitu juga dengan kisahnya pisang goreng.

Setelah mengambil makanan, kita dipersilakan untuk mencari tempat makan masing-masing. Kursi dan meja yang ada di dalam, jelas sudah penuh. Sementara orang-orang yang menunggu giliran untuk duduk, sudah berjubel dengan piring berisi makanan di tangan masing-masing.

Lantas di mana orang-orang lainnya makan? Ada yang makan di dalam mobil, di parkiran, di tengah sawah dan temapat-tempat lainnya.

Lho kok bisa makan di tengah sawah? Iya, bisa. Sebab memang dekat dari situ, ada sawah yang juga ramai ditempati pengunjung.

Nah, sampai di sini, sudah kebayang kan, betapa hebohnya rumah makan ini? Eit tunggu dulu. Cerita belum habis. Lanjut aja baca! 

Setelah kita makan, mau langsung pulang gak pake bayar, boleh? Lho, serius? Iya, serius!

Jadi warung Kopi Klotok ini gratis? Nggak juga!

Jadi di Kopi Klotok, Sampean makan apa saja, tidak ada yang mencatat. Tak ada satupun dari pihak warung yang memperhatikan Sampean. So, bebas saja.

Nanti setelah selesai makan, kalau Sampean mau bayar, tinggal menuju kasir. Sampaikan kepada kasir, makanan apa saja yang Sampean makan, minuman apa saja yang Sampean minum.

Kasir akan men-charge sesuai dengan kejujuran Sampean saja. Misal Sampean makan 10 piring, tapi ngaku 5 piring aja, tak akan pernah dipersoalkan. Jadi tagihannya hanya benar-benar atas kejujuran dan kepercayaan.

Di Kopi Klotok hanya menerima uang cash. Tidak menerima kartu debit, dan apalagi kartu kredit. Tidak juga pakai aplikasi -aplikasi pembayaran sebangsa shopee, lini, dana dan lain sebagainya.

Lantas gimana dong, kalau kita tidak bawa uang cash? Kita akan dipersilakan untuk narik uang di ATM terdekat, yang sepertinya juga jauh dari kawasan tersebut.

Setelah dari ATM, kita boleh segera kembali ke Kopi Klotok untuk bayar. Boleh juga balik besok, minggu depan atau tahun depan.

Tapi kalau ternyata Sampean males balik untuk bayar, boleh juga. Tidak akan pernah ada surat tagihan yang datang ke rumah Anda. Apalagi debt colector. No! Kopi Klotok tidak akan melakukan itu.

Kejujuran dan kepercayaan, ini adalah pondasi dasar Kopi Klotok membangun warungnya hingga orang berduyun-duyun dan berjubel antri untuk bisa makan di warung yang terletak di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman tersebut.

Apakah di antara sekian banyak orang yang makan di sana sudah pasti bayar? Entahlah, hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu.

Tapi yang pasti, kejujuran akan terus mengabadi saat semua kebohongan, keculasan, kepura-puraan dan kemunafikan jatuh tersungkur ke dalam jurang yang digali sendiri. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: