Dulinmu kurang adoh, kopimu kurang kentel, ini sering kali kita dengar dari orang yang mencemooh kekurang-pengetahuan kita terhadap berbagai perkara. Utamanya sering terlontar dari mereka yang suka ribut perkara khilafiyah dalam beragama.
Padahal terkadang yang melontarkan cemoohan itu justru yang tidak paham persoalan. Karena melihat perkara hanya dari satu sudut pandang saja.
Baca Juga : Ujung Ramadhan Masih Terkulai
Banyangin aja, ketika kita melihat seorang perempuan dari depan, tampak cantik dan tersenyum pada kita. Padahal ketika dia berbalik arah, ternyata punggungnya bolong dan berdarah. Ternyata sundel bolong!
Kegemaran langsung tancap gas, saya perhatikan masing-masing ada pada setiap kelompok. Tidak paham maksudnya, tapi langsung nyolot. Masing-masing berangkat dari keyakinannya akan kebenaran sesuai dengan sumber atau ajaran gurunya.
Agama ini terlalu agung, azhim, tinggi dan tidak ada yang melampaui ketinggiannya. Tak akan selesai dan paripurna kalau hanya diinterpretasi oleh satu dua orang, atau satu dua kelompok.
Seruan kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah itu sekilas benar. Tapi siapa loe, mau beragama langsung merujuk kepada dua sumber agama tersebut?
Bukankah ketika kau baca Qur’an, kitab ini dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam– berpindah kepada para sahabat. Pun, masing-masing sahabat mempunyai tafsir dan takwil yang tidak seragam satu sama lain.
Di kala Kanjeng Nabi masih hidup, penjelasannya langsung dari beliau. Sehingga karenanya, tak ada keributan, tidak ada pertikaian dan perselisihan.
Sebelum Baginda Nabi –alaihis shalatu wassalam– berpulang ke hadirat Allah Ta’ala, beliau menjelaskan bahwa ummat ini akan berpecah, kemudian beliau berpesan agar kita berpegang teguh terhadap perilaku beragama (sunnah) beliau dan sunnah al-Khulafair al-Rasyidin al-Mahdiyyin.
Kita sepakat bahwa Khulafaur Rasyidin itu hanya ada empat: Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman dan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhum–. Walau Syaikh Khalid Muhammad Khalid memasukkan Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah yang ke lima dari Khilafah Rasyidah.
Nah, penjelasan-penjelasan Rasulullah tentang agama ini, baik sebagai tafsir terhadap Al Qur’an atau tidak, berikutnya kita sebut al hadis atau as sunnah.
Hadis yang sampai kepada kita sekarang ini tidak begitu saja tercetak sebagaimana koran atau majalah. Ada perjalanan panjang terkait sanad dan matannya. Para perawi hadis yang akhirnya menulis kitab-kitab hadis tersebut, telah meneliti semuanya dengan sangat hati-hati.
Jadi, sungguh kurang ajar kalau ada oang yang baru belajar kemaren, ngegas menyebut hadis ini, hadis itu dhaif dan bahkan maudhu’!
Padahal acuan mereka menyebut hadis itu lemah atau palsu, juga berdasarkan takhrij satu atau dua orang ulama yang mereka gegemi, semisal Syaikh al Bani. Lha Al Bani ini ulama kapan? Dia bukan Salaf: bukan sahabat, bukan tabi’in, bukan tabi’ tabi’in!
Salaf itu adalah tiga generasi yang hidup setelah kewafatan Rasulullah, kemudian lazim kita sebut sebagai sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Sahabat adalah mereka yang hidup sezaman dengan Rasulullah, beriman dan wafat dalam keadaan masih beriman. Mereka ini belajar langsung kepada Rasulullah.
Tabi’in generasi berikutnya, yang belajar kepada para sahabat.
Kemudian tabi’ tabi’in, mereka generasi yang datang berikutnya. Mereka tidak sempat berjumpa dengan sahabat, maka mereka berguru kepada tabi’in.
Adapun generasi setelah itu sudah tidak kita sebut salaf lagi, tapi khalaf. Lah, Al Bani, Bin Baz, Ibnu Utsaimin dan lain sebagainya itu lahir kapan?
Belakangan muncul lagi kelompok yang begitu mendewakan akal, membuat takwil atas ayat-ayat muhkamat sesuai dengan akalnya semata. Membuat liberalisasi terhadap teks agama, yang melepaskan rujukan dari ulama salaf.
Kedua kelompok ini bertemu dalam ring tinju yang sangat dahsyat. Perdebatan mulai yang disebut konon ilmiah, hingga debat kusir tak berkesudahan di media sosial nyaris tiada henti kita saksikan sehari-hari.
Saling nyinyir dan sindir begitu akrab kita dapati, nyaris pada setiap sudut. Bahkan kita sendiri ikut bergumul pada salah satunya atau bahkan pada keduanya.
Terlalu menggampangkan perilaku beragama itu juga tidak baik, hanya karena pengakuan pada seorang atau dua orang guru, sering juga kita ngotot akan kebenarannya, padahal pendapat tersebut tidak berdasar pada al Qur’an dan al Hadis ataupun pendapat dan fatwa para aimmah salaf.
Jadi sebagai awam, sebaiknya mari kita terus belajar. Beberapa guru utama yang kita langsung talaqqi kepadanya, dengan sanad yang jelas, ini penting untuk kita miliki.
Tapi rajin menyimak kajian-kajian yang bertebaran di YouTube dan berbagai platform media sosial oleh ustadz-ustadz yang diakui keilmuannya, seperti Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Abdus Somad, Gus Baha, Gus Qayyum, Gus Kautsar dan lain-lain, itupun tidak buruk.
Belajar pada ustadz-ustadz yang viral di media sosial seperti tersebut di atas, itu sama sekali tidak salah. Tapi belajarnya harus utuh dalam setiap kajian, simak dari awal hingga akhir, biar tidak gagal paham.
Nah, kesalahan terbesar yang terjadi pada netizen hari ini, karena sukanya nonton tayangan-tayangan Tiktok, reel Facebook, reel Instagram, Short YouTube, ini sudah pasti parsial dan menjerumuskan kita pada kegagalan paham yang nyata.
Terlebih lagi sekarang banyak konten kreator yang sukanya mengadu domba, membenturkan antara satu ustadz dengab ustadz lainnya, dicari-cari perbedaannya untuk memperoleh viewer tinggi dan adsen besar.
Orang-orang seperti itu memang tidak niat ngaji, merekalah pengobar fitnah hingga ummat terkurung bara. Maka, sungguh bodoh orang-orang yang menyukai tayangan-tayangan yang mereka suguhkan! (Abrar Rifai)
1 thought on “Jangan Mau Dikurung Bara Fitnah!”