Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Perjalanan Ke Sumatera #1

Saat saya berpamitan pada pengasuh Pesantren tempat saya mengabdi, istri beliau berujar, “Abrar ini nekat!”

Yaa, saya memang nekat. Tapi sebenarnya kenekatan saya masih belum seberapa dibanding banyak orang yang sudah berkeliling Indonesia, bahkan keliling dunia.

Kalau berkeliling itu dilakukan oleh orang yang banyak duit, itu sangat wajar. Seperti misal Sang Legend Ibnu Batutah, beliau ini kaya. Hingga bisa menjelajah dunia, hingga akhirnya beliau harus menyerah ketika kapalnya pecah dihantam badai di Maladewa.

Tapi belakangan ada banyak penjelajah yang kita temui, sebenarnya mereka tak mempunyai banyak uang. Tapi mereka bisa menjelajah lebih kepada besarnya keinginan atau tekad baja.

Baca Juga : Errol Jonathans dan Jejaknya di Jurnalisme Radio

Seperti misal pemilik channel Road Trip Indonesia, Bang Deny dan istrinya, Baida. Dengan mobil Everest-nya pasangan ini sudah enam tahun menjelajah Indonesia.

Bagaimana Bang Deny dan istrinya bertahan hidup selama dalam perjalanan, lebih kepada kebersamaannya dengan kawan-kawan yang terus menyokong perjalanan keduanya.

Dalam perjalanannya mobil Bang Deny setidaknya sudah tiga kali turun mesin, sebab mobil yang dipakai adalah Everest tua, tahun buatan tahun 2005. Tapi toh perjalanan Road Trip Indonesia jalan terus.

Bonek adalah pembawaan lama saya. Saya dulu seringkali ikut tret tet-tet menyertai Persebaya tanding tandang ke Bali, ke Jakarta dan banyak kota lainnya, dengan benar-benar bondo nekat. Nggandul truk, naik gerbong barang atau tangki kereta api. Wes tak lakoni, rek!

Maka ketika sekarang saya punya mobil, punya sedikit uang, itu sebenarnya saya sudah bermodal. Jadi, bukan sekedar bondo nekat. 🙂

Saya berangkat dari Malang, hanya membawa uang delapan juta, untuk keliling seluruh pulau Sumatera, membawa satu istri dan tujuh anak.

Apa cukup? Ya, gak cukuplah! Lantas?

Prinsip saya ketika itu, pokoknya jalan. “Masalah nanti, kita pikir dan usahakan sambil jalan!” sergah saya pada istri, ketika dia sangat ragu untuk ikut ajakan saya.

Alhamdulillah, setiap kali uang saya mau habis, ada aja transferan baru yang masuk ke dua rekening yang saya punya. Dari mana?

Macam-macam, ada yang hasil nagih hutang, donasi dari saudara mara dan sebagiannya pinjam kepada kawan-kawan baik yang mau ngutangi.

Alhamdulillah, perjalanan tuntas dan kami sampai pulang ke rumah, tak pernah kelaparan dan tidak juga terlantar.

Pada perjalanan pulang menuju Malang, sesampainya di Salatiga, uang saya sudah habis, benar-benar habis. Saya coba lihat daftar nama di HP, sepertinya sudah tidak asa lagi kawan yang saya yakini bisa membantu.

Maka saya menoleh ke belakang, ke anak-anak saya, yang sebagiannya masih tidur. “Kalian kan punya uang, itu kemaren yang dikasih mbok.” mbok itu panggilan nenek di kampung saya.

“Mana sekarang, abi pinjam dulu. Nanti sampai di rumah, abi ganti,” kata saya pada mereka.

Waktu di Jambi, saya lihat memang ibu saya ngasih anak-anak uang masing-masing 100 ribuan.

Merekapun akhirnya merogoh tas atau kantong masing-masing. “Ini Bi, tapi sudah kalong buat beli jajan tadi di rest area,” kata Najma sambil menyerahkan uangnya.

Rifqi uangnya masih utuh. Ia selipkan dibalik cover HP-nya.

Ain juga masih utuh. Sebab disamping uang pemberian mboknga, rupanya Ain punya sejumlah uang. Mungkin hasil tabungan dari uang jajan yang kami berikan setiap hari.

Fathiya dan Diana sudah pada gak utuh uangnya. Sebab mereka ikut Najma, njajan.

Fatimah dan Sumayyah, uang keduanya masih utuh. Sebab uang mereka disimpan ibunya.

Nah, uang hasil membajak anak-anak itulah yang terakhir saya belikan solar dan nambah saldo e-Toll. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: