Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Saya tidak pernah mengingkari kebenaran adanya corona atau virus covid 19 ini. Walau saya sendiri tidak sepenuhnya meyakini mereka yang disebut mati karena terjangkit corona, memang benar-benar karena corona.

Sebagaimana orang yang mati disebut bukan karena corona, belum tentu juga demikian. Sebab begitu banyaknya pembiasan yang terjadi. Berbagai video yang mempertontonkan satu test swab menyebut positif, tapi ditest lagi di tempat yang berbeda kemudian ternyata negatif.

Makanya saya termasuk orang yang enggan diswab. Tapi ketika dihadapkan pada kenyataan yang memang harus swab, saya pun menyerah.

Pada hari pertama penyekatan mudik Hari Raya Idul Fitri yang lalu, saya bersiap meninggalkan Propinsi Jambi menuju Propinsi Sumatera Barat.

Baca Juga : Al Arwah Junud Mujannadah

Di perbatasan Sungai Penuh (Jambi) dan Tapan (Sumbar), saya disekat. Sejumlah Polisi menghadang mobil saya. Saya saksikan sudah banyak mobil-mobil lain yang terpaksa minggir, karena tidak diperbolehkan melintas.

Saya coba debat bapak-bapak Polisi. “Saya ini bukan mau mudik, Pak. Saya sudah melewati sekian kota dan provinsi hingga sampai di sini. Saya juga sudah menyeberang pulau!”

Polisi bergeming. Mereka tetap tidak mengijinkan saya melintas.

“Terus sekarang, kalau Sampean menyuruh saya balik, saya harus balik kemana?” desak saya.

Bapak-bapak polisi bingung juga. Kemudian seorang di antara mereka meminta saya dan segenap rombongan untuk test swab dulu. “Nanti kalau memang negatif, baru Abang boleh lewat,” kata seorang di antara mereka.

Saya menyerah. Saya pun menuju satu rumah sakit yang direkomendasikan oleh mereka.

Tapi lha kok muter-muter sampai capek, saya tak jua menemukan rumah sakit tersebut. Saya baru menemukannya sudah lewat jam 5 sore. Padahal saya mencarinya sejak jam 3.

Istri saya bersikeras tidak mau diswab. Dia memang phobia dokter, phobia obat, jarum suntik dan segala hal yang berkaitan dengan medis.

Sampai hamil 7 kali, dia tidak pernah periksa ke bidan. Apalagi ini swab, dia benar-benar takut. Saya sudah coba rayu, tapi tetap gak mau. Saya menyerah.

Melihat ibunya takut, anak-anak pun ikutan takut. “Wah, bagaimana ini?”

Tapi belum lagi saya selesai mencari cara bagaimana agar mereka mau, saya kok kepikiran hal lain. “Wah, ini kalau harus diswab semua, jadinya dua juta tujuh ratus ribu.”

Satu kali swab seharga 300 ribu rupiah. Sedang kami harus benar-benar berhemat, karena perjalanan masih panjang dan kami tidak punya banyak uang.

Akhirnya saya putuskan, saya aja yang swab. Perkara nanti tetap dipermasalahkan Polisi, akan saya debat dengan segenap argumentasi yang mengitari kepala.

Kalau memang benar-benar tidak boleh, iya sudah, saya akan berhenti saja di dekat pos polisi itu. Saya akan berkemah: saya akan buka tenda dan masak di situ!

Ketika itu saya gak tahu, bahwa yang harus swab adalah orang yang berumur 16 tahun ke atas. Tapi kalaupun hanya yang berumur 16 tahun ke atas, berarti empat orang di antara kami yang harus diswab.

Artinya saya harus mengeluarkan uang satu juta dua ratus ribu rupiah. Tetap aja banyak untuk ukuran traveler minal fuqara` dan masakin seperti kami.

Setelahnya mendaftar di satu loket, saya disuruh menunggu. Sekitar lima menit kemudian nama saya dipanggil. Masuk ke ruang test, saya nervous juga. Bukan karena kecantikan petugas swab, tapi itulah untuk pertama kali saya harus ditest corona!

Kekhawatiran kalau ternyata positif itulah yang menghantui. Kalau benar-benar positif, itu artinya harus diisolasi. Kami tidak akan bisa melanjutkan perjalanan.

Untuk saya sendiri, gak masalah kalau harus dikarantina. Tapi bagaiama istri dan anak-anak saya? Serius, itu yang saya takutkan.

Tapi saya tetap harus menghadap Si Mbak yang sudah bersiap dengan colokannya. Saya disuruh tenang, “Santai aja Bang, tidak apa-apa ini. Tak ada rasanya pun.”

Saya menutup mata. Sesaat kemudian Si Mbak berujar, “Sudah Bang, sekarang tunggu di luar dulu.”

Ternyata rasanya sama seperti saat kita sedang ngupil. Tahu ngupil, itu lho kegiatan mengorek-ngorek hidung saat gatal terasa.

Saat-saat menunggu hasil swab itu saya dag-dig-dug. Sama dengan perasaan, seorang calon pengantin yang khawatir tunangannya dibawa lari orang.

Tibalah hasil swab saua terima. Belum saya buka, Si Mbak sudah memberi kabar, “Negatif, Bang.”

Alhamdulillah, legaaaa!

Saya kembali ke mobil. Semua sudah menunggu dengan harap-harap cemas. “Gimana Bi?” ibu dan anak-anaknya nyaris bersamaan bertanya.

Saya tersenyum. “Alhamdulillah, negatif.”

Merekapun tersenyum gembira.

Saya bergegas menuju perbatasan, arah Tapan, Sumbar. Sampai di sana, pas berbarengan dengan adzan Maghrib. Waktu berbuka tiba.

Berhenti Sejenak Melaksanakan Ibadah

Rupanya semua Polisi itu muslim. Mereka berbuka. Sejumlah mobil tetap berderet di tepi jalan. Dengan segenap ketenangan hati dan sejumlah doa yang saya lafazhkan, saya melintasi jalanan yang sudah dibentuk zigzag.

Tak ada gangguan. Tak seorang pun Polisi mempedulikan saya. Alhamdulillah.

Gelap mulai menggerayangi bumi. Kami masuk hutan. Jalanan naik turun dan berkelok.

Sambil mobil terus melaju, kami minum air, sekedar untuk membatalkan puasa.

Gelap yang tadi hanya berupa remang, terus beranjak pekat. Sehingga menjadi benar-benar gulita. Hutan pun semakin lebat. Sejumlah jembatan kami lalui.

Suasana tegang. Sebab dalam keadaan gelap, perut lapar, karena kami belum berbuka, ditambah lagi depan dan belakang kami tak ada satupun kendaraan.

Jadi satu-satunya lampu yang menyala di jalanan tengah hutan itu hanyalah lampu mobil kami.

Saya sebenarnya santai. Saya sudah biasa berada dalam kegelapan seperti itu. Tapi melirik istri di samping saya yang tampak begitu tegang, saya sedikit sebanyak pun akhirnya dihinggapi takut.

Saya lihat istri saya terus komat-kamit. Entah apa yang diwiridkannya. Sementara saya terus mengulang Surat Al Quraisy.

“Alladzi ath’ama min ju’in wa amanahum min khauf = Tuhan yang memberikan makan dan memberikan rasa aman dari segenap ketakutan.”

Satu ayat di atas adalah penggalan surat Al Quraisy, yang menceritakan tentang perjalanan orang-orang Quraisy pada musik dingin (syita`) dan musim panas (shoif).

Bahwa dalam keadaan apapun: kenyang atau lapar, tenang atau gusar, aman ataupun takut, lapang ataupun sempit, hendaklah kita terus menyembah hanya kepada Allah.

Allah sahajalah yang harus menjadi penolong.

Allah sahajalah yang harus menjadi pelindung.

Hanya Allah juga yang sanggup memberi makan di mana pun kita berada dan dalam keadaan apapun.

Saat keselamatan kita terancam, pun hanya Allah yang sanggup menyelamatkan.

Istri saya malam itu rupanya benar-benar dicekam takut. Dalam remang, sedikit cahaya dari head unit mobil, saya lihat dia menangis. Saya maklum, dia tidak pernah berpetualang seperti saya. Ia selama ini hanya hidup di pesantren dan kemudian menjadi orang rumahan.

Dia tidak pernah masuk hutan. Pernah dulu saya ajak menyeberang laut, waktu ikut saya pulang ke Kangean. Itupun dia sudah kapok-kapok. Tak mau lagi.

Saya mencoba sesekali menenangkan. Tapi dia sudah terlalu larut dalam perasaanya, sehingga saya biarkan saja.

Anak-anak pun akhirnya tak ada yang bersuara. Sampai Fatimah dan Sumayyah yang biasanya berceloteh, kali ini pun ikut diam.

Saya terus memandu mobil. Sesekali agak kencang ketika menenui jalan yang relatif landai dan lurus. Tapi berikutnya kembali berkelok. Begitu seterusnya.

Sampai kemudian kami menjumpai satu warung. Ada lampu di situ. Tapi tak ada kendaraan apapun yang parkir.

Sempat mau berhenti di situ, tapi saya urungkan. Saya memilih terus berjalan untuk mencapai keramaian.

Tak ada kendaraan lain yang melintas, mungkin karena semuanya tersekat. Baik dari arah Sumbar ataupun yang dari arah Jambi. Secara itu memang hari pertama penyekatan.

Roda mobil kami terus berputar mengikuti gas yang saya injak. Akhirnya kami jumpai kampung, tapi bukan yang benar-benar ramai. Kami pun masih berada di jalan yang sama. Belum sampai Jalur Lintas Barat.

Saya tengok di map, baru akan sampai Lintas Barat dua puluh kilo lagi. Saya memilih terus lanjut jalan.

Ketegangan istri saya tampaknya sudah reda. Ia sudah mulai menyapa anak-anak. Ima dan Maya pum sudah mula bertanya berbagai hal. Ini abi mau kemana sih?” tanya Maya dengan suara cadelnya.

“Jalan-jalan,” jawab Ima disambung kakak-kakaknya yang lain.

Akhirnya sampailah kami di pertigaan. Membentang di hadapan saya Jalan Lintas Barat Sumatera. Belok kiri arah Bengkulu, belok kanan arah Padang.

Painan nama kawasan itu. Ada ramai orang. Toko-toko dan warung-warung makan pun ada banyak terdapat di situ.

Kami memilih satu warung ayam goreng. Terdapat disitu berbagai lauk selain ayam. Ada ikan dan lain sebagainya.

Saya memesan 5 ayam dan 4 ikan. Saya sudah tidak perlulah bertanya kepada anak-anak. Sebab yang penting, kami segera makan. Perut sudah sangat lapar. Sebab waktu sudah mendekati pukul sembilan.

Selesai makan, tuntas sudah rasa lapar. Sebagaimana rasa takut yang telah lebih dulu berlalu.

Saya kembali mengulang Surat Al Quraisy, sambil menjalankan mobil dengan perlahan mencari masjid, untuk shalat Maghrib dan Isyak, menyembah kepada Tuhan Pemilik Rumah (Ka’bah) yang menjadi kiblat Muslimin seluruh Dunia. (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: