
Mengeja senja itu tak serupa para durjana menggali kematian. Sebab mereka sekedar membuat kubangan, tanpa pernah tahu seperti apa mereka kelak akan dibenamkan di situ.
Senja itu teduh, seperti naungan raga yang hatinya dipenuhi ridho atas ketetapan Tuhan. Tanpa pernah hirau, landai atau mendaki, berkelok atau lurus.
Pada senja yang melata kian remang,
bersama beburung yang berkawan kembali ke sarang,
kita kumpulkan segenap duka dan bahagia.
Pada simpul yang paling erat, kita tautkan seluruh cemas dan harap.
Kejujuran untuk mengakui bahwa manusia adalah manusia, adalah tuntutan semesta.
Manusia memang bukan malaikat, tapi jangan lantas jadi setan!
Salah dan lupa akan terus menyertai manusia sepanjang kehidupannya di kefanaan ini.
Salah dan benar silih berganti.
Lupa dan ingat pun akan terus beriringan.
Datuk kita, moyang manusia, Nabiyullah Adam –alaihissalam– pernah salah. Tapi taubatnya adalah teladan yang patut kita tiru.
Sungguh Allah Ta’ala teramat Pengasih, sentiasa sedia menyambut taubat hamba-Nya.
Maka, pada dinding senja, sandarkanlah kepasrahan akan segenap ketetap Tuhan. Sembari terus berupaya untuk melukis hanya kebaikan. (Abrar Rifai)
Terkait
JADILAH PEJUANG KEBENARAN
5 Jenis Manusia Versi Cak Nun
Belajar dari Kisah Si Gula