Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Madza Ta’buduna Min Ba’di?

Kabar kematian yang bertaluan, tetap tak boleh meluruhkan keimanan kita bahwa berpisahnya nyawa dari badan itu adalah mutlak kekuasaan Allah.

Ada banyak ilustrasi atau pengibaratan kematian, seorang penyair Arab menyebutnya: Ka annaqah al a’ma = seperti unta yang buta.

Unta buta yang berjalan kemana saja, akan menabrak siapa saja, tanpa ia sendiri mengetahuinya. Lha unta buta.

Tua, muda, lelaki, perempuan, kaya, miskin, raja, jelata, alim, bodoh dan apapun status manusia, semuanya akan disikat!

Allah -Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kematian yang kau menghindar darinya, sesungguhnya ia terus menyongsongmu!” QS. Al Jumu’ah: 8.

Baca Juga : Gelora Jatim Berduka 

Pada ayat di atas Allah Ta’ala menggunakan kata ‘mulaqi’, ini adalah wazan musyarakah yang berarti saling: Fa’il menjadi maf’ul. Maf’ul menjadi fa’il.

Jadi antara kita dan kematian itu saling mendatangi. Makanya saya terjemahkan menyongsong.

Jadi sebenarnya tak ada seorangpun yang lari dari kematian, karena sebenarnya kapan saja, dimana saja, sesungguhnya kita sedang menyongsong kematian.

Maka, seorang penyair yang lain berujar, “Walau kau menyusun tangga setinggi mungkin menuju langit, untuk menghindari kematian, sesungguhnya kau tetap sedang mendatangi kematian!”

Tersebutlah di jaman Nabi Sulaiman –alaihissalam, malaikat kematian bertamu kepadanya. Namun saat Izrail memasuki kediaman Nabi Sulaiman, ia terperanjat melihat salah seorang tamu Nabi yang pandai berbicara dengan berbagai makhluk tersebut.

Sebab menurut catatan Izrail, orang tersebut harusnya akan mati beberapa saat lagi di India, bukan di situ.

Orang tersebut setelah tahu bahwa tamu yang baru datang adalah malaikat maut, iapun ketakutan. Ia meminta kepada Nabi Sulaiman agar menerbangkannya ke India dengan angin.

Nabi Sulaiman memenuhi permintaannya. Wuuuus! Sekejap saja angin telah menerbangkan orang tersebut ke India. Namun, begitu ia sampai di India, iapun mati.

Begitulah kematian, tetap tak akan bisa dihindari. Waktu dan tempatnya tak boleh kita atur. Sebab Malaikat Izrail sendiri pun hanya tunduk pada apa yang telah Allah catatkan untuknya.

Seorang kawan saya, perempuan. Orang Lawang, satu kota dengan saya. Dia baik, baik banget. Sering ngasih uang ke saya dan anak-anak. Padahal bukan orang yang terbilang kaya banget.

Pada Hari Raya Idul Fitri tiga tahun yang lalu –sebelum adanya corona, ia berkunjung ke rumah budenya. Seperti biasa, namanya riyayan, suguhan makanan dan minuman bermacam-macam.

Ia pun menikmati sirup buatan budenya. “Emmm, seger es-e, Bude. Langsung ilang ngelakku,” katanya.

Setelah ia teguk es sirup tersebut, diletakkannya kembali di atas meja. Kemudian ia bersandar ke sofa yang didudukinya. Sudah, begitu saja. Ia sudah tak bisa bangun untuk selamanya. Rupanya saat ia bersandar itulah, Izrail mendatanginya.

Maka, di manapun, kapanpun, dengan sebab apapun, tak jadi soal kalau kita memang harus mati.

Walau kita tetap harus berupaya sebisa mungkin untuk bertahan hidup. Sebisa mungkin menghindari penyakit. Kalau sudah terlanjur sakit, segera berobat dan seterusnya.

Yang penting, kita harus tetap dan selalu meneguhkan keimanan di dalam dada. Sebab Allah telah mengultimatum dalam banyak firman-Nya, “Wala tamutunna illa wa antum muslimun!”

Begitulah Nabiyullah Ibrahim –alaihissalam berwasiat, Nabiyullah Ya’qub berwasiat kepada anak-anaknya, agar jangan sekali-kali menyekutukan Allah. Kapanpun mati, iman dan Islam harus tetap digenggam.

Sebagai orang tua, sudah saatnya kita tak melulu mengkhawatirkan apa yang akan anak-anak makan setelah kematian kita. Tapi, yang harus kita pastikan, apa yang akan mereka sembah setelah kematian kita.

Al imanu, wal iman, tsummal iman wal iman wal imaaaan….! (Abrar Rifai)

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: