Orang Ramai

Berita Cinta & Cerita

Emansipasi Desa dan Kota

Oleh: Lailatus Syukriah

“Apa pendapatmu tentang emansipasi, Alamanda?”

“Aku tidak setuju dengan emansipasi, Mas Burhan. Menurutku masing-masing orang punya peran. Baik pria maupun wanita. Aku suka kodratku menjadi wanita dan menikmatinya. Aku senang mendapatkan prioritas tempat duduk di angkutan umum. Aku suka orang lain membantuku membawakan tasku ketika aku keberatan. Aku suka disayang dan diperhatikan. Aku suka menjadi manja dan tidak mandiri.” Jawabku dengan tertawa.

Mas Burhan pun tertawa, “Kalau begitu biar kami para lelaki yang mengajukan emansipasi.”

“Jadi, apakah laki-laki adalah tukang panggul bagi wanita, begitu?” lanjut Mas Burhan.

“kurang lebih.” Jawabku berkelakar.

Percakapan kami waktu itu tidak berujung kesimpulan. Kami memilih topik yang lain untuk dibicarakan. Belakangan ini aku berkunjung ke desa-desa dan panti asuhan setelah lama tidak traveling karena pandemi COVID 19 menyerang. Sebagian pengalamanku terdokumentasi dalam gambar, namun sebagian besar lainnya tidak sempat. Hanya berupa cerita saja.

Suatu malam kami ngopi bersama. Mas Burhan menyulut rokok kretek beraroma cengkeh bersanding dengan secangkir kopi susu. Aku sebagai penikmat kopi sejati memilih kopi hitam tanpa gula yang diseduh dengan air panas 80°C agar wanginya semakin menguar dan sepiring pisang goreng. Seperti biasa, walau aku memesan memesan pisang goreng untuk dinikmati bersama, pada akhirnya hanya aku yang menghabiskannya. Mas Burhan tidak suka ngemil, asal ada rokok saja sudah cukup. Untung dia sopan. Mengingat aku tidak merokok, Mas Burhan menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke arah yang tidak mengenaiku. Meskipun kadang angin membawanya juga ke arahku. Hidangan tersaji, aku pun bercerita,

“Mas Burhan, orang-orang desa itu romantis yaa. Mereka pergi ke ladang bersama. Kadang suaminya berangkat duluan, istrinya menyusul sambil membawa bekal makanan. Mereka makan bersama dan tetap bahagia walau lauk seadanya. Mereka menyiangi rumput bersama, mencangkul bersama, bahkan memanggul beban pun bersama. Tidak hanya para bapak yang memanggul beban, tapi para ibu pun memanggul beban. Sungguh penerapan emansipasi yang nyata.”

Mas Burhan tertawa, “Bagi orang kota itu romantis, Alamanda. Bagi orang desa? Mereka tidak ada pilihan selain melakukannya.”

Mas Burhan melanjutkan. “Coba kutanya, siapa yang berkoar-koar menuntut emansipasi?”

“Wanita priyayi?” Aku mengangkat bahu.

“Itulah. Emansipasi hanya dituntut oleh orang-orang kota dan kaum priyayi yang tidak merasakan hidup sebagai wanita miskin yang hidup di desa. Yang tidak punya pilihan selain bekerja di ladang membantu suami. Wanita kota ingin duduk bersama dan memiliki panggung seperti laki-laki, ya karena pekerjaan laki-laki bersih. Tidak terkena lumpur. Berdiri di podium, berdiplomasi, berdiskusi dan mengambil keputusan dalam gedung yang nyaman dan ber-AC. Coba di desa, tidak perlu teriak emansipasi, wanita sudah mendapat ruang untuk bekerja. Sama porsinya seperti laki-laki.” Mas Burhan melanjutkan sambil nyengir getir.

“Makan menu sederhana tapi tetap bahagia? Kalau tidak bahagia, apakah mereka harus bersedih meratapi nasib setiap harinya, Alamanda?”

Aku manggut-manggut. Benar juga apa yang dikatakan Mas Burhan. Aku tidak pernah tinggal di desa. Sejak lahir aku di kota, bersekolah, dan bekerja pun di kota. Berbeda dnegan Mas Burhan yang lahir dan besar di desa. Aku merancang liburan untuk orang kota yang penat bekerja dengan pengalaman bermain ala desa. Bertani dan beternak, juga mengunjungi pantai.

“Di kampungku, Alamanda. Pantai kami jernih. Sepanjang pantai kami melihat biota laut berwarna-warni. Aku membayangkan jika biota diu laut kami dibawa ke pantai di Jawa ini, ubur-ubur kami menghitam.” Mas Burhan tertawa.

“Para ibu ikut melaut, mengangkat jaring. Ikut juga menarik dan mendorong perahu. Tidak ada yang duduk diam diistimewakan.” Lanjutnya.

Rokok Mas Burhan masih mengebul. Pisang goreng di piring baru berkurang sepotong. Kopi yang belum ada setengahnya kami minum mulai mendingin. Aku terdiam dan tenggelam dalam pikiranku dan membatin, “Suatu saat nanti, aku ingin mengunjungi lebih banyak desa-desa itu. Desa yang indah dengan para wanita yang bekerja layaknya laki-laki tanpa perlu berteriak tentang emansipasi.”

Allahu A’lam

Pin It on Pinterest

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
%d bloggers like this: