Indonesia=ndeso?
Oleh: Wiwin Rahma Suryanti
Benarkah Indonesia identik dengan ndeso? Anda, para Indonesian lovers, boleh marah, benci, gak suka, sebel, uring-uringan, kesel, jengkel, bete, atau apalah saat membaca atau mendengat pernyataan tersebut. Sebaliknya, Indonesian hatters, mungkin bertepuk tangan.
Ada yang mau bukti ke-ndeso-an itu? Gak usah susah-susah dan muluk-muluk deh. Lihat saja dari keseharian orang Indonesia.
Pertama, bangsa yang rakyatnya masih “belajar” antre. Apa yang menjadi penyebab budaya antre susah dilakukan oleh rakyat di negara kita? Mau antre BBM, antre membeli tabung gas 3 kilo-an, antre periksa dokter, antre mengambil bantuan langsung dari pemerintah untuk masyarakat terdampak Covid-19, antre pembagian zakat, daging qurban dan semisal itu, antre kencing di fasilitas MCK umum, antre tiket apa aja, plus antre-antre yang lain. Seandainya bisa nyerobot, pastilah opsi itu yang dilakukan.
Kedua, bangsa yang latah dan sok gaya. Lagi demen film India, India semua. Lagi demam budaya Korea, Korea semua, mulai dari drakor, musik, make up, merchandise dan asesoris lain ala-ala Korea.
Lihat saja betapa girangnya selebriti Indonesia saat mendapatkan face mask yang konon cuma ada 1 di Indonesia dan ada tandatangan asli Lee Min Ho lagi. Pokoknya rakyat bangsa ini sangat rentan dari serbuan budaya asing.
Ketiga, bangsa ini seperti tikus mati di lumbung padi. Negeri ini gemah ripah loh jinawi. Daratannya luas dengan ribuan pulau yang terangkai bak mutu manikam yang disirami cahaya mentari sepanjang tahun. Dengan keindahan alam pegunungan, lembah, ngarai sampai pantai yang memesona.
Hasil bumi melimpah. Tongkat pun bisa jadi tanaman. Belum lagi isi perut bumi pertiwi yang membangkitkan syahwat tak kenal puas dari para globalis materialistis (meminjam istilah Bossman Mardigu).
Lautan Indonesia pun tak kalah kaya. Berjenis-jenis flora dan fauna hidup di dalamnya. Obyek wisata baharinya mampu membuat para wisatawan lapar mata kenyang duit datang membanjiri Indonesia.
Potensi lautnya membuat kapal-kapal pencoleng ikan gelap mata meski harus melanggar kedaulatan negara.
Dengan segala jenis kekayaan itu, apakah rakyat Indonesia makmur?
Baca Juga : Memenuhi Panggung Merdeka
Keempat, bangsa yang mudah terjebak euforia sesaat dan mudah melupakan keburukan, kejahatan, kezaliman orang atau bangsa lain. Reformasi 1998 membuat bangsa ini larut dalam euforia demokrasi yang sampai hari ini masih belum jelas format dan bentuknya.
Yang penting bebas dulu setelah terkungkung sekian lama. Hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih bebas disalurkan baik dalam pemilihan legislatif, pimpinan daerah sampai pimpinan negara secara langsung. Karena pendidikan politik belum sejalan dengan semangat demokrasi langsung dan terbuka, membuat politik Indonesia high cost dan rentan money politics.
Di sisi para kandidat pemimpin pun, masih belum bisa sepenuhnya lepas dari oligarki politik atau politik dinasti. Pemilih Indonesia masih abai terhadap aspek integritas, kapasitas, kompetensi dan track record. Mantan garong, koruptor, dan residivis pun mungkin dan bisa untuk dipilih dalam proses elektoral pemimpin daerah dan negara.
Kelima, bangsa yang minderan, gaptek, out of the date, katro, kuper, tapi kagetan, lebih senang jadi pasar dan konsumen daripada jadi produsen.
Bisa jadi, sikap mental ini memang muncul dari internal bangsa ini, tapi bisa jadi pula sengaja dipelihara oleh pihak eksternal yang tidak menginginkan bangsa ini, dengan segala potensinya, menjadi bangsa yang besar.
Singkatnya, ke-ndeso-an tidak identik dengan sesuatu yang buruk atau negatif. Ndeso pun bisa bermakna baik, tergantung yang memaknainya. Ada ndeso yang harus dihabisi dan ada yang mesti tetap dipelihara, terutama terkait kearifan lokal dan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Apapun itu, love you Indonesia, my country. And happy independence day. []
Terkait
Ramadhan Ala Gresik-an (Bagian 3-habis)
Ramadhan Ala Gresik-an (Bagian 2)
Ramadhan Ala Gresik-an (Bagian 1)