
Oleh : Roni Haldi
Penghulu Muda KUA Kec. Susoh, Aceh Barat Daya dan Penulis Buku Lingkaran Pekat Muslihat
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz RA keluar rumahnya di hari Idul Fitri. Dalam khutbahnya beliau menyampaikan, “Wahai rakyatku sekalian! Kalian telah berpuasa karena Allah Subhanahu Wata’ala selama tiga puluh hari. Demikian juga telah menunaikan shalat malam tiga puluh hari. Hari ini kalian keluar untuk memohon kepada Allah agar semua amalan diterima.” Pada momen demikian, ada seorang salaf yang menampakkan kesedihan. Kemudian ia ditanya, “Bukankah ini hari kegembiraan dan kesenangan?” Ia menjawab, “Benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba yang Allah perintahkan melakukan amalan. Sedangkan aku tidak tahu apakah amalan itu diterima atau tidak? Itulah yang membuatku sedih.”
Begitulah dituliskan oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab Lathaiful Ma’arif. Menguatkan diri akan bukti kesedihan para Salafuna Shalihin berpisah meninggalkan ramadhan yang mulia.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S Ali Imran : 79).
Baca Juga : Menjadi Orang Tua, Tak Boleh Berhenti Berdoa
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa tarbiyah itu bukan untuk membentuk jiwa-jiwa penyembah nabi, pemimpin, ulama dan apa serta siapapun selain Allah swt, namun tarbiyah itu dalam rangka membentuk jiwa-jiwa yang hanya mau mengabdi kepada Allah semata. Memerdekakan jiwa, pikiran dan dirinya dari belenggu doktrin buta. Penghambatan, ketundukan dan wala’ hanyalah milik Allah dan Rasul semata. Jadilah manusia-manusia Rabbani
Dr Yusuf al-Qardhawi dalam Al Khasaisul Al ‘Ammah Lil Islam mendefinisikan Rabbaniyyun adalah “kalimat dinisbahkan kepada Rabb. Insan Rabbani ialah seseorang yang mempunyai hubungan erat dengan Allah, alim tentang agama-Nya serta mengajarkannya.”
Ramadhan akan pergi menghilang, berganti syawwal datang menjelang. Syawwal artinya peningkatan bukan kendur apalagi sampai kedodoran hilang tanpa bekas. Tanyakan pada diri, pasca ramadhan pukul berapa bangun pagi? Berjamaahkah shalat lima waktu? Berapa halaman Al Qur’an telah dibaca? Apakah hari ini bersiap untuk buka puasa? Sudahkah shadaqah dikeluarkan?
Ramadhan pasti berlalu, namun semua “tradisi shaleh ramadhan” hendaknya terus berjalan sebagai hasil “tarbiyah madrasah ramadhan”. Sesungguhnya pasca ramadhan sebagai indikator lulus tidaknya seseorang dalam pelaksanaan “ujian” sebulan penuh yang dilaksanakan siang dan malam. Sungguh sebelas bulan pasca Ramadhan adalah ruang waktu pembuktian, apakah benar tujuan puasa Ramadhan; taqwa benar telah ada menancap kuat hingga hadir bulan Ramadhan berikutnya.
Jadilah hamba-hamba yang taat sepanjang masa karena Allah semata. Dan jangan hanya menjadi para ahli ibadah dadakan lagi musiman hanya selama musim Ramadhan saja! Ingatkah, Ramadhan hanya satu bulan saja dari satu tahun penanggalan. Tapi ibadah kepada Allah Ta’ala tak kenal masa dan terbatas ruang waktu tertentu. Beribadahlah kepada-Nya dimana pun dan dalam kondisi apa pun jua.
Terkait
Adab Tidur
Renungan Jum’at pagi : JAGA IMAN, DAN BERBAHAGIALAH
Teruslah Berburu